Apa
Bahagia Itu, Anakku
Bahagia adalah ketika kau mendapatkan kegembiraan, kedamaian, dan
rasa syukur, dalam waktu bersamaan. Hilang saja salah satunya, hidupmu akan
timpang.
Kau nanti akan mendapati orang-orang yang berlebihan dalam banyak
hal. Misalnya seorang hajjah, yang bila melenggang serupa manekin toko emas
berjalan; bergelantungan perhiasan di leher, pergelangan tangan, centil
telinga, bahkan lingkar kakinya. Tapi tak banyak yang peduli bahwa ia selalu
dihantui kecemasan. Suaminya dibelit kasus korupsi, pun saban dua minggu harus
cuci darah; anak-anaknya sudah tiga kali tertangkap basah nyimeng di belakang
sekolah.
Kau jangan mencari kegembiraan dengan mengorbankan rasa damai, Anakku.
Kau jangan lupa bersyukur hanya karena merasa semua didapat lewat kerja
kerasmu. Kau jangan jadi orang kaya yang miskin!
Seperti
Neknang
Mengapa orang-orang tua banyak yang renta?
Selain perkara usia, karena mereka tak mampu mengambil saripati
kehidupan yang sudah kapalan dilalui. Mereka hendak berehat saja ketika senja,
namun lupa, rehat dapat membunuh hasrat untuk senantiasa siap. Maka,
kautiliklah, orang-orang tua yang bersantai ketika waktu sudah sudah hampir
bosan memeringati usia, akhirnya akan menjadi benalu dalam keluarga.
Kehadirannya justru merepotkan orang saja (walaupun tak ada yang
mengungkapkannya).
Maka, kuceritakan padamu tentang Kakek. Dalam bahasa kampung kita, Neknang.
Menjelang kepala delapan, ia masih berkebun, ia masih mengitari kampung saban
petang, ia masih membaca koran (walau kadang minta ditunjuki arti beberapa kata
atau kalimat serapan asing), bahkan ia masih punya cita-cita. Ke Tanah Suci.
Ibu ingin kau pun mewarisi semangatnya, Anakku. Menjadi tua, sudah
ketentuan. Namun kau dapat menjadi muda, demi kehidupan!
Kehilangan
Matahari
Kau tak tahu bagaimana kita sudah kehilangan matahari sekian
lama. Sejak gedung-gedung itu tumbuh tinggi dengan cepatnya, mengalahkan
tunas-tunas tanaman yang mesti disirami saban hari.O, kau juga tak tahu perihal
pohon itu, kan?
Suatu waktu Ibu akan keluar dari kampung tembok ini, Anakku.
Akan kubawa ember dari rumah menuju tanah lapang yang dirimbuni ilalang. Siapa
tahu ada anakan jambu terong atau anakan srikaya yang tiba-tiba menyeruak dari
sana. Akan kucungkil tanah tempatnya tumbuh: ya, bersama tanahnya sekalian.
Kumasukkan ke dalam ember.
Di rumah, setelah disiram sedikit air. Kukabarkan padamu bahwa
itulah cikal-bakal pohon. Aku hanya masih berpikir, apakah benar anakan itu
akan menjadi pohon, bila matahari selalu disembunyikan oleh tembok-tembok?
Makan-makan
Bila ada yang meninggal, kaukabarkan saja pada keluarganya dan
mereka yang tahu agama. Bakda dimandikan dan dikafankan, baru kaumaklumatkan
pada 40 orang. Sembahyangilah ia. Lalu tanamlah ia di pemakaman umum di selatan
kelurahan. Tak usah kau tanam di dekat rumah. Ia juga ingin berkawan dengan
orang-orang mati, bukan hanya dengan kalajengking, lipan, dan cacing-cacing
berwarna cokelat bening.
Bila para tetangga hendak mendoakannya di rumah, kau bantu
ahli-musibah menyiapkan buku Yaasin dan Al-Qur’an. Lalu jeranglah air sepuluh
kali lebih banyak dari biasa. Itu saja. Tak usah kau petik nangka muda, tak
usah menebang batang kelapa untuk diambil umbutnya dan diparut kulit daging
buahnya, tak usah menyembelih ayam kampung, tak usah membeli bumbu-bumbu gulai
di pasar pagi. Ia tak restu bila kalian mesti berutang demi menyelenggarakan
malam-malam doa di rumah hingga 100 hari kematiannya.
Aku Akan
Jadi Gurumu
Maka, kuboyong kau ke sebuah kampung suatu hari. Kampung yang
tersuruk. Nyaris dilupakan sesiapa (apalagi pembuat peta). Bukan tempat Ibu
dilahirkan. Bukan pula tempat kakek-nenekmu hidup dulu. Ibu sudah lama
mencari-cari daerah di mana Ibu dapat melihatmu tumbuh menjadi manusia yang
paling manusia.
Ibu akan mengajarimu banyak perkara. Tak perlu kau mendaftar ke
sekolah. Kau akan kudidik sendiri. Dengan tertib. Ibu tak ingin menitipkanmu ke
gedung-gedung yang dibangun dengan batako yang dilapisi adukan semen dan pasir
dengan perbandingan 1:7. Ibu tak ingin kau didikte pelajaran yang gurunya
sendiri tak paham apa yang (hendak) ia berikan. Apalagi menurutku kau benar-benar
tak perlu belajar bila sudah sekolah. Bukankah sudah ada tim sukses
masing-masing sekolah yang akan mengisi lembar jawabanmu? Satu-dua siswa mereka
tak lulus, dipecatlah kepala sekolahnya, digantilah kepala Dinas Pendidikannya,
ditegurlah menterinya. Kita tak usah menyusahkan banyak orang, Anakku.
Bila Kau
Jadi Pengarang
Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak
usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula
tindak tanduknya.Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya
menghardik pengarang lain. O ya, Ibu lupa kau perempuan, ya! Jadilah pengarang
perempuan yang benar-benar perempuan. Tak usah kaukuak hal-hal busuk perihal
kaummu. Tak penting itu. Hanya akan membuatmu terkenal karena kebusukanmu (bila
ada yang bilang itu “wangi”, itu bukan urusanmu).
Ingat Nak, mengarang itu menggambar atau bahkan membocorkan
kenyataan agar orang lain ingat bahwa seperti ini rupanya hidup itu; kalau
begini akan begitu, kalau begitu akan begini. Maka, bila berhubungan dengan
pengarang lain, bercengkeramalah sebagaimana kau mengarang. Aku tak memintamu
menjadi munafik. Aku memintamu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang kau
karang. Ingat pula, mengarang adalah mengingati orang lain tanpa mereka merasa
digurui. Nah, bila tukang ingat-nya saja sembrono dalam bertabiat, bagaimana
orang-orang yang membaca karangannya mendapatkan manfaat dari apa-apa yang
(pura-pura) ia baik-baikkan dalam bahasa ceritanya?
Senja
yang Telat Pergi
Kau harus tahu, di waktu-waktu tertentu, ada kalanya senja tak
ingin pergi. Hingga, ketika jejak azan magrib sudah hilang dari gendang telinga
pun, langit masih jingga. Jingga yang pucat. Dengar, itu bukan pertanda bahwa
serombongan PKI hendak menggorok leher ibumu ini. Bukan pula karena Hantu Wewe
tengah berkeliaran mau menyembunyikanmu di balik jubah landungnya. Itu adalah
selingan alam.
Kadang-kadang kau tak tahu bagaimana ranting kering tiba-tiba patah
tanpa didahului embusan angin yang kuat, tanpa didahului seekor prenja yang
silap menghinggapinya. Nah, itulah. Tuhan kadangkala memainkan kekuasaannya
pada hal-hal kecil, Nak. Kauresapilah.
Pun dengan senja itu. Tuhan hanya ingin memersilakanmu menikmatinya
agak lama. Jangan kau menggerutu sebagaimana orang-orang merutuki hujan lebat yang
membuat seng rumahmu berkereokan tak sedap didengar. Kau jarang berpikir,
ketika itu anak-anak tetangga senangnya minta ampun setelah sekian lama tak
mandi karena air sumur sudah bau belerang. Jarang ada yang berpikir, ketika
senja hinggap lebih lama, anak-anak takut keluar rumah. Orang-orang tua bahkan
menambah-nambah ketakutan mereka dengan cerita-cerita tak berbenang-merah.
Jarang yang memanfaatkan kebersamaan dalam kekalutan itu, untuk membuat mereka
bergegas mengambil wuduk: solat magrib bersama!
Tamasya
di Hari Lahir
Apa yang akan kaulakukan ketika anakmu tiba-tiba ingat hari
lahirnya?
Kau akan berpikir keras tentang sejumlah uang yang akan
kauhabiskan untuk merayakannya, bukan? Merayakan? Apa yang perlu dirayakan dari
sebuah peringatan?
Ibu bisikkan padamu. Kau ajaklah anakmu pergi ke tepian
Lubuklinggau. Ke Siring Agung. Kaulintasi hutan karet di Kenanga Dua Lintas.
Dalam perjalanan, kau kenalkan nama-nama pepohonan yang berbaris di tepi
kiri-kanan jalan, yang berjajar serupa pagar-bagus pesta perkawinan. Biasanya
pohon durian yang hampir ratusan tahun umurnya paling banyak di sana, pohon
kopi yang bunganya bagai rerumpun melati yang tengah berpelukan, dan sedikit
memasuki daerah Siring Agung, kau akan melihat pohon yang kelopak bunganya tak
lembek: bunga kamboja. Di sana, terhampar pusara-pusara orang yang telah habis
jatah hidupnya. Nah, lihat tahun lahir dan meninggal mereka. Bermacam-macam,
bukan? Ada yang sudah sangat tua, ada pula yang seumuran dengan kau dan anakmu.
Tentu, kau dan anakmu sudah khatam mendengarkan diktum kematian, bukan? Mau
dibawa ke mana hidup ini bakda mati? Jangan lupa ya, Nak. Ajak anakmu ke sana
di hari lahirnya.
Karib
Nenek di Seberang
Nenekmu punya seorang kawan yang tinggal di seberang pulau. Ia
memiliki sembilan anak. Semuanya sudah berkeluarga dengan pekerjaan yang
baik-baik pula. Kau tahu, ia hanya seorang tukang jahit. Ia sangat suka
berderma. Ia selalu memasak gulai dengan melebihkan kuahnya. Agar dapat
dibagi-bagi dengan tetangga, begitu alasannya. Bila masjid mengadakan acara,
dari khatam Qur’an hingga Mauludan, ia yang paling banyak membawa penganan
untuk para jemaah.
Bila dipikir-pikir, manalah mungkin ia mampu membiayai sekolah dan
kuliah semua anaknya. Tuhan Maha adil, katanya. Aku takkan bercerita banyak perihal
keajaiban itu, lanjutnya.
Ada-ada saja rezeki yang datang padanya, Anakku. Ibu akan selalu
ingat sebuah kalimat sederhana yang dirawikan Nenekmu darinya: Banyak memberi
takkan membuatmu jatuh miskin.
Semuanya
Berkabut
Dari banyak hal yang membuat Ibu gelisah, yang satu ini harus
diceritakan. Kini, dan apalagi ketika masa kau besar nanti, tidak ada
silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan menghantar keperluan.
Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong
haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan.
Demi Tuhan yang Maha Menurunkan Keajaiban, kuingin kau menjadi
orang asing di masa itu, Anakku. Jadilah orang asing yang memegang tongkat Al
Hakim. Jadilah orang asing yang jernih berpikir, teguh memegang kata hati.
Semuanya akan berkabut, Anakku. Hanya yang sombong yang tak melihat kabut itu.
Hanya yang asing yang merasa terganggu oleh kabut itu. Kau, kuingin kau selalu
was-was terhadap kabut itu, Anakku.
Jadilah
Orang Miskin yang Kaya
Dengar, Anakku. Jangan pernah percaya pada kata-kata orang yang
berdasi itu: Bila
kau ingin berhasil, maka cintailah pekerjaanmu! Ingat,
Anakku. Tak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Bila memang ia
mencintainya, maukah ia menjabaninya tanpa imbalan?
Hidup adalah tumpukan topeng yang tak berwujud. Berlapis-lapis
ditimpuk, takkan membuat mukamu tampak berbeda. Ini perkara lama. Perkara yang
sudah jauh-jauh hari Tuhan ingatkan kepada kita. Padaku. Padamu pula.
Kau pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir. Kejujuran,
rendah hati, mencintai saudara. Jangan kau ganti harta-harta itu dengan
harta-harta yang baru: ketenaran, gelar haji, jabatan, mobil, emas-permata.
Maka, jadilah orang miskin yang kaya, Anakku! Orang miskin yang bahagia.
Malam
Setan
Malam, tak ubahnya siang hari. Bahkan lebih meriap. Kau akan
mendapati perempuan jadi-jadian di sekitar rumah (rel kereta api tak lagi
menguntungkan untuk mencari pelanggan).
Aku bersyukur karena kau perempuan, Anakku. Bukan laki-laki. Maka,
demi Tuhan, janganlah pula kau menjadi siluman. Kelak, bukan hanya banyak
perempuan yang mengaku bahwa mereka terperangkap dalam kegagahan perawakan
laki-laki. Namun, akan banyak pula laki-laki yang mengaku terperangkap dalam
kemolekan tubuh perempuan. Sering-seringlah mengunjungiku, Anakku. Agar kau
ingat padaku. Pada nasihat-nasihatku. Pada kematianku. Pada kematianmu.
Lelaki
Pencuri Cahaya
Sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa. Serupa aku beberapa
tahun sebelum mengandung. Kau masih saja memakai pakaian yang landung-landung.
Rok yang mencium mata tumit, dan baju kurung yang berkancing setengah kilan di
atas payudara, membungkus lenganmu hingga ke gelang tangan.
Maka, carilah pemuda yang selalu membuatmu bercucuran cahaya karena
mentari telah berhasil ia curi dan ia rasukkan ke dalam dirinya.* Dialah pemuda
yang akan menjagamu. Menjaga pusara ibumu. Menjaga kehormatanmu. Menjaga anakmu
agar tak menikah sebagaimana kau kelak: berwali hakim di hadapan penghulu.
Anak Ibu
Maafkan Ibu yang tak sempat menemanimu tumbuh, Anakku. Yang terang
adalah, Ibu kini bahagia. Kau selalu mendoakanku, orang yang terbang ke langit
bakda memersilakanmu menangis untuk pertama kalinya. Entah, kau mendoakan
ayahmu atau tidak. Atau kau sudah tahu bahwa pemerkosa itu tak layak kaudoakan.
Atau dokter yang menghadiahiku buah simalakama kala itu, menggugurkanmu
agar aku hidup, atau melahirkanmu namun aku akan segera bertemu Munkar dan
Nakir, telah menceritakan kepadamu bahwa aku kerap bercengkerama dengan
perutku sendiri, menyampaikan ragam nasihat, harapan, dan impianku tentangmu,
ketika layar monitor mesin pemindai kandunganku menyatakan kau perempuan?
Khidmatilah semuanya, Anakku. Mataku ada di mana-mana. Sebagaimana
semua petuahku menyelusup dalam tindak-tandukmu. (*)