Selasa, 14 Mei 2013
Bulir-bulir Rindu
IA sudah tak berharap lelaki itu akan menemuinya meski hanya untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal. Apalagi, hingga jam kantor berakhir, lelaki itu tak lagi menampakkan diri.
Mengapa ada perasaan yang hilang ketika Pak Bayu pindah ke Banjarmasin? Bukankah selama ini antara ia dan Pak Bayu tak pernah ada jalinan perasaan apa-apa? Ataukah diam-diam ada ruang di sudut hatinya yang terpatri nama lelaki tersebut?
Jangan pernah tanyakan kapan perasaan indah itu membelai lembut hatinya? Apakah ketika ia terpeleset dan hampir terjatuh di depan gerbang kantor pada hari pertama ia masuk kerja lima tahun silam? Ketika itu sebuah tangan kekar menyambar tangannya, menolongnya, dan tiba-tiba ia merasakan debaran aneh di dadanya.
Ataukah ketika ia dan Pak Bayu sama-sama mengikuti kursus bahasa Arab di kantor setiap hari Selasa dan Rabu pagi? Ataukah, ketika ia dan Pak Bayu rutin setiap ba’da Zhuhur menyimak kuliah tujuh menit (kultum) di mushala? Ataukah kenangan-kenangan lain? Perhatian-perhatian kecilnya, yang kini ia rasakan penuh arti?
Kegalauan hati mengantar langkahnya ke Pejaten Village, tepatnya di Resto Little Asia. Dia selalu menyukai tempat ini, apalagi pada saat-saat senja. Dari tempat duduknya, ia dapat memandangi gedung Republika yang cantik bagaikan puri di bagian utara. Di sebelah barat, gedung Philips selalu tampak bercahaya pada malam hari. Dan, kalau melihat ke bawah, dia bisa menyaksikan jalan Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan, yang selalu macet, terutama pada pagi hari dan sore hingga malam hari.
***
Sudah tiga hari ini tubuh Rindu terasa sakit sekali. Badan rasanya seperti remuk. Suhu tubuhnya pun panas sekali. Lina, sahabat dekatnya, mengantarnya ke RS JMC di Jalan Warung Buncit Raya.
Dokter menyuruhnya cek darah. Ternyata Rindu terkena demam berdarah. Ini sudah memasuki hari ketiga. Trombositnya turun sampai 82.000.
“Anda harus dirawat,” kata dokter.
Lina langsung mendaftarkan Rindu ke bagian rawat inap kelas II, satu kamar untuk dua orang. Namun, hari ini pasiennya hanya Rindu.
Rindu menelepon mamanya di Bandung. Ternyata mamanya yang guru SMA itu harus ikut penataran sampai lusa. Dia lalu menelepon adik perempuan satu-satunya, ternyata dia sedang ujian semester sampai Sabtu depan.
Untunglah Lina dengan tulus hati mau menemaninya di rumah sakit.
“Tapi, aku cuma bisa menginap malam ini aja ya. Soalnya besok Mas Indra balik dari tugas luar kota. Dia pasti kangen sama aku. Aku juga kangen sama dia. Seminggu berpisah rasanya kayak setahun aja. Begitulah indahnya pernikahan.”
“Ya deh, pasangan pengantin baru.”
“Makanya, Non, cepat-cepat menikah. Apalagi sih yang kamu tunggu?”
“Pangerannya belum datang, Lin.”
“Anak gubernur bawa Mercy Coupe kamu tolak.”
“Karena, aku yakin mobil itu dibeliin orang tuanya. Aku tak suka laki-laki yang berlindung di balik ketiak ayahnya.”
“Terus, ustaz yang lulusan Timur Tengah, kamu tolak juga.”
“Karena, dia selalu beranggapan seakan-akan cuma dia dan kelompoknya yang benar. Orang Islam yang lain semua salah.”
“Nah, dokter yang ganteng itu, kok kamu tolak juga?”
“Karena, dia tidak tulus mencintaiku. Dia mengejarku hanya karena ingin membuktikan kepada teman-temannya bahwa dia dapat menaklukkan hatiku. Aku dapat bocoran itu dari seorang teman.”
“Lalu, lelaki manakah yang menempati sudut hatimu saat ini?”
Rindu menggeleng.
“Apakah seseorang yang berada jauh di pulau itu? Mantan manajer di kantor kita yang sekarang menjadi direktur di perusahaan tambang?” Wajah Rindu tiba-tiba bersemu merah dadu.
“Ah, kamu jangan menggodaku, Lin.”
Pagi berikutnya, Rindu mendapatkan kiriman parsel buah yang sangat lengkap, plus jus sari kurma dan jus jambu merah. Ada sebuah kertas kecil bertuliskan “Semoga lekas sembuh”.
Siang hari Lina datang.
“Wow, sang pangeran sudah kirim parsel ya?”
“Maksudmu?”
“Siapa lagi kalau bukan seseorang yang jauh di pulau seberang itu.”
“Pak Bayu, maksudmu?”
“Tepat!”
“Dari mana dia tahu aku sakit?”
“Sori ya Rin, diam-diam selama ini Pak Bayu sering menanyakan kabarmu. Kemarin waktu dia menelepon, aku bilang kepadanya bahwa kamu sakit DB.”
Tiba-tiba HP Rindu bergetar. Sebuah SMS masuk, “Assalamu ’alaikum, Rindu, semoga cepat sembuh. Nanti kalau kamu sudah diizinkan pulang oleh dokter, saya akan meneleponmu. Boleh kan?”
Hati Rindu tiba-tiba bagai dipenuhi seribu bunga.
“Terima kasih, Pak Bayu.” Tanpa ragu, Rindu segera melanjutkan, “Nanti kalau sudah sembuh, saya kabari Bapak.”
***
Pak Bayu memenuhi janjinya. Dia menelepon tepat pukul sembilan malam. Rindu mengangkat HP-nya dengan hati berdebar-debar.
“Assalamu ‘alaikum, Rindu.”
“Wa ‘alaikumsalam, Pak.”
“Sudah sehat 100 persen?”
“100 persen mungkin belum, Pak. Tapi, sudah makin sehat.”
“Alhamdulillah.”
Sejenak sepi.
“Rin… saya mau tanya satu hal.”
“Apa, Pak?”
“Apakah kamu masih dengan kebiasaanmu yang dulu?”
“Maksud Pak Bayu?”
“Kalau duduk di depan komputer, kamu sering meletakkan jari tangan di atas bibirmu.”
“Pak Bayu perhatian banget.”
“Aku sangat suka melihatmu dengan gaya seperti itu. Sangat feminin. Makanya, dulu aku suka curi-curi pandang melihatmu saat di depan komputer. Maaf ya, Rin.”
“Sudahlah, Pak.” Kalau Pak Bayu berada di dekatnya, dia pasti bisa menyaksikan wajah Rindu yang memerah tersipu.
Agak lama suasana hening. Rindu diam menunggu.
Akhirnya Pak Bayu berkata, “Rin, saya mau berterus terang padamu…. Terserah apa pun jawabanmu. Saya… saya mencintaimu. Sejak bertahun-tahun lalu. Namun, aku merasa tidak adil mencintaimu,” kata Pak Bayu.
“Mengapa, Pak?”
“Banyak hal yang menjadi alasan. Pertama, namamu persis sama dengan nama almarhumah istriku. Rindu. Dengan alasan ini saja, aku merasa tidak adil mencintaimu. Aku merasa sangat egois mencintai seorang gadis yang memiliki nama persis dengan nama almarhumah istriku. Seakan-akan itu hanya pelarianku.”
“Tapi, Pak, apakah salah mencintai seseorang yang namanya sama dengan almarhumah istri Bapak? Bukankah banyak nama yang sama di dunia ini? Nama Aminah pasti banyak persamaannya. Nama Yeni juga banyak persamaannya. Begitu pula nama Ratna dan sebagainya.”
“Tapi, nama Rindu hanya kamu dan almarhumah istriku.”
Rindu terdiam. Nun di sana, Pak Bayu menghela napas.
“Alasan kedua, kamu juga memiliki sifat-sifat yang penuh kelembutan seperti almarhumah. Setiap kali melihat kamu dan mendengar namamu disebut orang, aku selalu terkenang almarhumah. Ini yang membuat aku merasa sangat egois kalau mencintaimu.”
Rindu terdiam, tak mampu menjawab.
“Dan, aku masih punya satu alasan lagi, Rindu. Usiaku sudah 47 tahun sedangkan kamu baru 27 tahun. Usia kita terpaut lebih 20 tahun. Di sini, lagi-lagi aku merasa egois mencintaimu. Kalau umurku panjang hingga 65 tahun, aku sudah tua dan jadi kakek-kakek, sedangkan kamu baru berusia 45 tahun. Harusnya ketika itu kamu aktif ke sana ke mari, melakukan sesuatu yang bermanfaat buat masyarakat, paling tidak buat dirimu sendiri, bukannya menemani seorang lelaki tua di rumah.
Sedangkan, kalau aku wafat pada usia 55 tahun, kamu menjadi seorang janda pada usia 35 tahun. Padahal, kamu berhak untuk menikah dengan lelaki yang usianya sebaya denganmu dan bersamanya kamu menikmati bahtera rumah tangga dalam rentang waktu yang lama.”
“Tapi, Pak, umur kan kita tidak tahu. Boleh jadi saya yang masih muda ini meninggal lebih dulu. Atau, kalau saya menikah dengan lelaki yang sebaya, ia justru umurnya pendek, siapa tahu?”
Bayu menghela napas panjang. “Yah, kamu benar. Umur itu rahasia Allah. Tapi, ada satu alasan lagi yang membuatku merasa egois mencintaimu.”
Rindu sabar menunggu. Tapi, hatinya resah.
“Kamu cantik, Rin. Dan, aku tak mau ada orang lain yang juga menyadari bahwa kamu cantik. Aku selalu cemburu kalau ada laki-laki lain di kantor yang melirikmu atau mengajakmu ngobrol meski sekadar basa-basi. Ini kan egois, Rin, bahkan konyol namanya. Ternyata, Rin, perasaan jatuh cinta itu sama saja ketika kita usia belasan tahun, dua puluhan tahun, ataupun empat puluhan tahun. Jangan-jangan seseorang yang berusia 60 tahun pun kalau jatuh cinta sama rasanya dengan mereka yang berusia 20 tahun.”
Wajah Rindu merona merah. Dia kehabisan kata-kata untuk menjawab.
“Terus terang, Rin, selama ini aku sering kali ingin mengobrol dari hati ke hati denganmu, namun aku tak berani. Aku hanya mengagumimu dari kejauhan. Terkadang aku ingin sekali memujimu ketika melihat engkau mengenakan kerudung abu-abu, ungu, atau merah hati, engkau kelihatan anggun. Aku juga sangat suka melihatmu mengenakan kerudung warna kuning, engkau kelihatan tambah cantik. Namun, aku paling suka kalau kamu mengenakan kerudung putih, kamu kelihatan begitu bening dan suci seperti bidadari. Tapi, aku hanya bisa mengungkapkan kekagumanku di dalam hati. Maafkan aku, Rin. Aku selalu mengatakan kepada teman-teman bahwa aku pindah ke Kalimantan untuk mencari tantangan baru, apalagi anak-anakku sudah kuliah semua. Namun, sebetulnya aku pindah ke Kalimantan terutama karena aku tak mau dikatakan egois.”
Rindu menggigit bibir. Tiba-tiba matanya terasa panas. Butiran bening menggelayut di pipinya yang putih.
“Pak Bayu memang egois,” ujarnya bergetar. Ia berusaha menahan emosi yang mendera jiwanya. “Bapak kan tidak pernah menanyakan perasaan saya. Apa yang ada di hati saya terhadap Bapak?”
“Aku tidak berani menanyakannya, Rin. Aku takut kecewa.”
“Itulah bukti bahwa Bapak memang egois. Bapak hanya melihat diri Bapak sendiri.”
“Rin, kamu cantik dan salihah. Di luar sana, pastilah banyak lelaki antre untuk mendapatkanmu. Banyak orang tua yang bermimpi punya menantu seperti kamu. Kalau kamu menikah dengan seorang duda setengah tua seperti saya, orang tuamu pun akan bertanya kepadamu, ‘Apa kamu sudah tidak laku? Apa kamu tidak bisa mendapatkan seorang pemuda lajang untuk menjadi suamimu?’ Jadi, apakah aku pantas berharap untuk mendapatkanmu…?”
“Bapak berhak berharap dan Bapak punya kesempatan.”
***
Sore yang dijanjikan, Rindu kembali datang ke Pejaten Village. Ia mengunjungi Resto Little Asia dan memesan tahu gandum serta Chinese tea.
Hatinya berbunga-bunga. Pak Bayu mengatakan akan datang sore ini. Dia berjanji dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, akan langsung ke Pejaten Village.
Namun, setelah ditunggu tiga jam, Pak Bayu tidak juga tiba. Rindu sudah mulai pupus harapan. “Mungkin Pak Bayu hanya bercanda. Dia sebetulnya tidak mencintaiku. Aku salah terlalu berharap padanya,” katanya dalam hati.
Iseng, ia membuka sebuah portal berita melalui HP-nya. Breaking News! Sebuah pesawat yang terbang dari Banjarmasin gagal mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Pesawat itu terbakar dan dikhawatirkan penumpangnya tewas.
Tiba-tiba saja Rindu merasakan debar jantungnya berlari kencang. Pak Bayu! Ia segera memencet nomor lelaki itu, namun nomor itu tidak bisa dihubungi. “Ya Allah, selamatkan Pak Bayu,” ujarnya lirih.
Ia membuka portal-portal berita lainnya. Namun, belum ada informasi terbaru. Berita itu menyebutkan bahwa maskapai penerbangan seharusnya berangkat dari Banjarmasin pukul 14.45, namun ditunda pukul 16.00 karena ada gangguan mesin. “Itu pesawat Pak Bayu,” bisik Rindu.
Berkali-kali Rindu mencoba menghubungi nomor HP Pak Bayu. Namun, nomor tersebut tidak aktif. Ia sangat mengkhawatirkan nasib lelaki tersebut.
Waktu terus berlalu. Namun, belum juga ada perkembangan berita pesawat yang gagal mendarat tersebut. Rindu semakin cemas.
Di langit, rona hitam pekat mengusir mega merah. Senja hilang ditelan keangkuhan malam.
Sayup-sayup terdengar lagu Rindu—karya Eros Djarot yang dulu dinyanyikan oleh Fryda Luciana dan kini dipopulerkan kembali oleh Agnes Monica:
Bayang-bayang di batas senja
Telah kaubawa segala yang kupunya
Rindu ini telah sekian lama terpendam
Tanpa sadar, Rindu tersimpuh. Angin malam menerbangkan asanya menjauh. Air matanya jatuh bersama bulir-bulir rindu yang meluruh. (*)
.
.
Jakarta, senja, 2012.
Gulistan
KALIAN masih ingat, ingat sekali, kalau kalian bepergian ke kampung tetangga di pengujung Syakban.
Bakda zuhur, kalian menumpang sebuah bus yang semua bangkunya sudah terisi. Kalian berdiri dengan sebelah tangan berpegangan pada besi terentang di atas lorong yang membagi barisan tempat duduk. Kalian harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Di sekitar kalian; sepasang muda-mudi duduk berdempetan, mulut empat lelaki pecandu kretek yang menjelma pabrik asap, beberapa lelaki tua mengutuk pemerintah yang batal menaikkan harga BBM padahal sudah berderum-derum bensin ditumpuk di halaman belakang rumah, tiga pemuda sibuk memamerkan kelebihan fisik pacar masing-masing, ibu-ibu muda asyik dengan gadget (sesekali mereka merutuki Innova pribadi yang mogok—sepertinya mereka adalah anggota DPRD yang baru saja mengunjungi daerah pemilihan yang terpencil)…. Dan kalian berdua hanya bersipandang, sesekali memejamkan mata demi mencegah diri dari mengumpat dan membicarakan dosa-dosa orang lain.
Ah, kalian juga masih ingat. Baru setengah perjalanan, bus tiba-tiba berguncang, lalu berguling menurun, seperti tersungkur ke lembah yang sesak oleh pohon-pohon besar, semak-semak berduri, dan rumput-rumput tinggi tak bernama. Kalian tak menyangka, di balik belantara, ada sebuah taman yang indah. Bagaimana kami dapat terdampar atau terlempar atau tersuruk di tempat ini, bisik hati kalian masing-masing. Lalu, lalu kalian seolah terpisah, dan masing-masing berjumpa dengan seseorang yang berasal dari seberkas cahaya.
***
KAU melihat lesatan cahaya putih kemerah-merahan. Lalu cahaya itu meliuk, sebelum menjelma seorang gadis. Sebelum terpikat pada kecantikannya, kau sudah takjub pada apa-apa yang kautemui di taman.
Mana langit mana laut. Begitu kebingunganmu bermula. Ya, sama-sama biru bentangan alam itu. Selendang samudera yang beriak menjadi tudung nan indah, dan kibaran horison menjelma ambal bagi daratan yang penuh lekuk dan celah. Kau memandang riakan langit dan ketenangan samudera dengan degup jantung yang melampaui kecepatan kayuh kaki kuda kala berlari. Berulang kali kaukucek mata demi memastikan apa yang kaupijak dan apa yang memayungimu bukan sekadar ketakwajaran yang mengundang decakan ganjil, bukan pula ilusi yang iseng menyambangi.
Mana puisi mana sabda, telingamu pun kehilangan kepekaan. O, tidak! Mungkin tidak begitu tepatnya, tapi pendengaranmu tiba-tiba kehilangan gendang yang tabuhannya selalu memberitahu nama setiap suara dan perbincangan. Pandanganmu menyapu sekeliling, bagai meminta penjelasan perihal telinga yang bantut bekerja. Tapi, untuk apa risau dengan karunia bila pikiran pun kehilangan pelabuhan untuk menambatkan nalar dan logika. Maka, gemiricik aliran sungai yang menabrak bebatuan pun tak ubahnya tetesan air gua yang tak ingin menjadi stalagtit-stalagmit. Maka, cericit beburung adalah denting musik paling merdu yang pernah menggema di mayapada.
Mana angin mana udara, kau juga hampir tak memikirkan. Selayang pandang, dua zat itu tak ada bedanya. Ya, angin mungkin lahir dari rahim udara, anak yang ketika remaja dibiarkan berkeliaran; kadang membuat sesiapa terlelap karena kesiurnya, kadang membuat rumah-rumah poranda karena kumparannya, kadang membekukan aliran darah sebab kedatangannya yang tiba-tiba. Namun ternyata angin ini tidak seperti itu. Ia adalah udara bersih nan jernih, yang lesap ke dalam tubuh hingga darahmu suci dengan merahnya, hingga air matamu manis dengan beningnya.
Lalu, mana rindu, mana tak tahu?
Ya, kau seolah mengenal gadis itu. Di salah satu sudut taman yang penuh dengan bunga tanpa ranting itu, hanya ada kau dan dia. Sungguh, kau tak kuasa menamakan perasaan yang tengah menguncup. Kau memandang gadis itu dengan saksama. Dari kepala hingga ujung jari. Kau seolah mengenal dia dengan baik. Bahkan kau bisa bayangkan apa-apa yang ada dalam hatinya (entah bagaimana, kau bagai lupa ajaran agama; kau merasa tak perlu beristighfar sebab memikirkan sesuatu yang—mungkin seharusnya—haram bagimu).
Wajah gadis itu bening. Bening sekali. Matanya berbinar— titik hitam di dalamnya seperti pusaran yang menyimpan godaan tak tetanggungkan. Namun begitu, sedikit pun kau tak khawatir. Kau merasa nyaman sekali, padahal kau sangat yakin kalau gadis itu bukan muhrimmu. Kalian bahkan terlibat pembicaraan basa-basi berkepanjangan. Kalian saling menanyakan kabar, alamat rumah, hal-hal yang gemar dilakukan, warna kesukaan, dan tentu saja nama masing-masing. Kau melakukan semuanya tanpa merasa risih, tanpa merasa canggung, apalagi malu dengan kesalehan yang kaupelihara selama ini.
Ah, bagaimana kalau banyak orang yang melihat kami berdua, pikirmu sedikit cemas. Tapi setelah memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa, perasaanmu pun sedikit lega. Kau sesungguhnya tahu kalau Tuhan maha melihat. Bahkan hati kecilmu sempat nyeletuk; apakah Dia juga ada di taman yang menakjubkan ini?
O tidak, gumammu seolah sadar dari kekurang-ajaran dugaanmu. Tuhan pasti ada. Di mana-mana. Tapi entah aku yang salah karena kalap dengan gadis yang menjelma bidadari atau apa, aku merasa Tuhan meridhoi apa yang kulakukan ini. Ah, jangan-jangan gadis ini adalah jodoh sejatiku.
“Lalu, lalu, bagaimana dengan perempuan yang kaupinang sepuluh tahun lalu?” tanya gadis itu, seolah menangkap kegelisahanmu. “Apakah kau tidak bahagia dengannya? Apa yang kurang darinya?”
Kau terdiam. Menekuk dagu. Bukan, bukan karena takut pada pandangannya, tapi bingung bagaimana dapat kauingkari pertautanmu dengan istri selama ini.
“Maksudku begini….” Nada suaramu ragu-ragu. “Hmm,” kau masih ragu-ragu seperti hendak menceritakan kekurangan. “Istriku,” lanjutmu tertahan. “Istriku tidak dapat memberikan keturunan, bahkan di usia pernikahan yang mendaki tahun kesepuluh.”
Gadis itu senyam-senyum.
“Mengapa kau tersenyum begitu? Apa ada yang aneh dengan kata-kataku?” tanyamu penasaran.
“Tidak,” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu. Apakah kaupikir istrimu mandul, atau jangan-jangan….”
Belum selesai kalimat gadis itu, kau menyela, “Ya, aku tahu maksudmu. Kau memang benar. Bisa saja aku yang mandul. Bisa saja aku yang salah. Tapi, tapi, tapi, kami sudah sama-sama memeriksakan diri ke dokter. Hasilnya sungguh melegakan. Kami berdua tidak memiliki kekurangan untuk berketurunan. Tapi, ya, kenyataannya begini. Entah dokter itu yang salah, kami yang salah, atau Tuhan menganggap kami belum cukup amanah.”
Gadis itu tersenyum lagi. “Aku bahagia sekaligus bangga dapat mengenal laki-laki sepertimu.”
Wajahmu merah kembang sepatu.
“Kau tidak egois. Aku yakin istrimu adalah wanita yang beruntung. Kau jangan terpedaya oleh penampilanku. Pasti kau mengira aku berusia tujuh belas tahun, ‘kan?”
Warna kembang sepatu di wajah laki-laki itu berubah menjadi ungu.
“Tak usah malu.” Wajah gadis itu semringah. “Aku tahu semua tentangmu. Tentang anak-anak asuhmu. Tentang hasil ladang yang kalian sumbangkan untuk masjid dan para manula yang kehilangan daya untuk bekerja. Termasuk hal-hal yang kaulakukan saban Ramadhan.”
Kau mengernyitkan dahi.
“Setiap Ramdahan, kau dan istrimu beribadah sebulan penuh, bukan? Bahkan kalian sengaja ke ladang setengah hari karena tak ingin waktu shalat sunnah, membaca Quran, dan menghadiri majelis hikmah, banyak tersita.”
Kau takjub, benar-benar takjub; bagaimana ia mengetahui semuanya.
“Lalu, sebenarnya siapa kau, wahai Gadis yang Mengetahui Segalanya?”
Gadis itu mendekatimu. Kau mematung, seakan-akan aliran darahmu ditotok serta-merta. Ia membisikkan sesuatu di telingamu, sesuatu yang lembut, yang bertiup, berselancar di sepanjang nadi, dan menancap di katup jantungmu. Sungguh, sepertinya kau mengakrabi suaranya. Kau tersenyum, tersenyum malu, ketika mengetahui sekaligus menyadari: gadis itu mengetahui kepura-puraanmu, kepura-puraan kalian.
Ah, memang drama yang indah, batinmu gembira.
***
TAK kalah dengan suamimu, kau juga takjub tak kepalang.
Kau berjumpa dengan seorang pemuda yang tampan perkasa. Seperti inikah Nabi Yusuf, dugamu tak percaya. Namun cepat-cepat kau beristighfar ketika ingat suamimu. Tapi di mana imammu itu, kau pun tak tahu. Kepalamu sudah cukup bergasing dengan apa-apa yang ada di hadapanmu.
Kau tak kuasa membedakan, mana pinang mana kelapa. Setiap pohon menjulang bagai tiang cahaya tanpa bohlam. Pelepahnya adalah sayap merak yang riap dengan wewarna yang belum pernah kaulihat. Daun-daunnya seperti mutumanikam yang membentang dalam warna hijau kulit nangka. Lalu, bunga-bunga putih susu yang merimbuni tetangkai yang menyeruak di pucuk-pucuknya memancar cerlang; sinarnya menerangi hingga radius dua ratus mil di sekitarnya (ah, betapa!). Buahnya? Buahnya adalah bola-bola air yang menggelantung di udara yang kapan saja dapat berubah bentuk, warna, dan aroma.
Mana padi mana ilalang, kau jua tak kuasa mencuatkan jawab. Rerumputan, begitu akhirnya pikiranmu memberi nama. Rerumputan yang senantiasa bersujud; tak peduli siang atau malam, tak peduli pagi atau petang, tak peduli ke mana jarum jam bergasing seharian. Memang, sebagaimana rerumputan, kerimbunannya menyerupai batalion hobit berbaju hijau yang bertiarap. Saban pucuknya melambai, wangi gurun menguar dan sejuknya air terjun merayapi. Setiap itu pula, langit akan menjadi biru terang—bukan biru yang sendu. Resapilah; cericit dan koak burung-burung pun tidak lagi membuat telinga makin berdenyar, namun membuat dadamu makin lapang dan perasaanmu makin bungah, seolah ada kebahagiaan yang serta-merta menyerlah!
Lalu, lalu bebunga yang menghampar itu, membuatmu tak berdaya melukiskan, seperti apa nian dadamu bergemerincah: mana mawar, mana raya? Ya, kau memang sangat menyukai kedua bunga itu. Selintas, raya adalah kembang sepatu dengan kelopak berlapis-lapis. Dari jauh, raya tampak seperti bunga mawar raksasa. Namun, kau begitu terkejut ketika mendapati; bunga yang awalnya kauniatkan untuk dihadiahkan kepada suamimu itu, ternyata bukan raya, bukan juga mawar raksasa!
Kau kehabisan kata untuk menamakan bunga yang tangkainya berada dalam genggamanmu kini. Apalagi, aromanya… ya aromanya seperti campuran dari puluhan atau ratusan atau ribuan atau jutaaan wewangian yang selama ini belum pernah kaubaui!
Lalu, mana mawar, mana raya?
Lalu, mana taman, mana surga, Abang?
“Abang?” tanya pemuda itu. “Kenapa kau memanggilku seolah kita sudah saling mengenal, seolah aku kekasihmu?” Ia nyengir kuda.
Kauseri-serikan wajah. Kau kikuk, ke mana harus membuang muka. Kau menyesal sudah memanggil pemuda itu “Abang”. Oh, bagaimanapun, pemuda itu telah menyadarkanmu agar tidak meluruhkan kesalihaan, yang telah kautumbuhkan bertahun-tahun, dalam sekali perbincangan. Tiba-tiba kau merasa sangat kesal kenapa bisa terseret ke taman ini.
“Tenanglah. Suamimu tak ada di sini.” Pemuda itu seolah mencoba menenangkan.
“Ini bukan tentang ada-tidaknya suamiku, tapi layak-tidaknya seorang perempuan bersuami berduaan denganmu di sini, di taman ini. Oh, kita seperti sepasang kekasih yang sedang memakan buah khuldi!”
“Apakah kau yakin Tuhan juga ada di tempat ini? Bukankah Dia memiliki taman-Nya sendiri?”
“Surga?” tebakmu.
“Kau tahu itu,” tukas pemuda itu.
“Lalu taman ini?” Nada pertanyaanmu seperti kecewa.
“Kenapa?” Pemuda itu memicingkan sebelah mata seperti mengejek. “Kau menganggap taman ini sebagai surga?”
Kau terdiam, malu. Wajahmu seperti ubi jalar goreng.
“Memangnya siapa kau?” Pemuda itu meremehkanmu.
“Lalu di mana suamiku?” Perasaanmu tak tentu. Cemas, takut, dan bingung, bersigesek dalam dadamu.
“Jangan-jangan dia yang ke surga!” Ia lipat kedua tangan di dada.
“Lalu inikah neraka?” Kau mulai sedikit panik.
“Aku tidak bilang begitu.” Nada suaranya seperti mengejek.
“O, tidak!” Kau memegangi kepala, meremas-remas rambut, kebingungan. “Apakah niat kami hijrah ke kota tetangga itu salah lantaran kami meninggalkan anak-anak itu?”
“Maksudmu?” tanyanya pura-pura tak tahu.
“Akulah yang mengajak suamiku meninggalkan kota kami. Tapi, kami sudah meminta seorang yang kami percayai untuk mengurus anak-anak asuh kami. Lengkap dengan sejumlah uang dan bekal makanan. ”
“Dan suamimu menurut saja karena ia juga ingin punya anak sepertimu, ‘kan?”
“Bukan!” Kau mengelak. “Eh, iya.” Kau segera meralat sanggahanmu. “Kami mengasuh banyak anak seharusnya memang bukan untuk memancing Tuhan untuk mengasihani kami. Seharusnya pula, hijrah kami semata demi ibadah yang lebih khusyuk selama Ramadhan.” Kau merasa sangat malu, malu sekali.
“Tidakkah kalian malu?” Telunjuknya menuding wajahmu. “Kalian seolah tak mampu mengasinkan lautan sendiri, lalu ingin pindah ke pulau garam yang berada tak jauh dari samudera.”
Wajahmu mendongak. Bahumu berguncang meredam buncah. “Mungkin kami memang salah. Tapi kami hanya ingin mencoba-coba. Sudah sepuluh tahun kami berkeluarga, tapi belum juga dipercaya-Nya untuk mengurus buah hati. Kemarin seharusnya menjadi Ramadhan kami yang kesepuluh sebagai suami-istri. Ramadhan adalah bulan yang mustajab untuk terus mengecambahkan harapan dengan doa-doa, bukan? Termasuk berharap beroleh keturunan. Ah, sepertinya kami memang salah, ya. Pikiran kami terlalu singkat.” Wajahmu seperti kembang sepatu yang tergeletak di dekat api yang membara. “Kami hanya berpikir, siapa tahu beribadah, termasuk beri’tikaf, di kota yang terkenal dengan kemakmuran masjidnya, dapat membuat Tuhan mempercayai kami tahun ini.”
Pemuda itu menatapmu dalam, tajam, dan runcing sekali. Lalu dari kedua bahunya, menyembul sepasang sayap. Sayap itu berbulu cahaya. Lalu, lalu ia terbang. O tidak, bukan terbang, tapi lesap ke dalam cahaya. Cahaya yang tidak menyilaukan, tapi menenangkan, menenteramkan, menyejukkan, dan melindungi.
Kau mendekati cahaya itu. Cahaya yang berbentuk seperti manusia. Kau tak tahu, dari mana keberanian menyusup dalam dirimu. Kau menghampiri telinga kanan pemuda cahaya itu, dan membisikkan kalimat yang kau sendiri tak mengerti darimana kau mendapatkan kata-kata itu, bagaimana hingga lidahmu begitu lancar melafalkannya:
“Jangan saling menipu, Sayang. Kita sama-sama tahu kalau kecelakaan bus itu tidak terjadi kemarin, tapi dua ribu empat ratus tiga puluh satu tahun yang lalu. Kita juga sama-sama tahu kalau kita sudah saling mengenal sedari tadi, sedari dulu. Kau sudah meminangku sepuluh tahun yang lalu, oh atau tujuh ribu tiga ratus tahun yang lalu. Benar ‘kan? Hmm, apakah kita akan bercinta lagi di taman ini, untuk yang kesekian kali? Kupikir, Tuhan akan mengembuskan ruh baru ke rahimku. Bukan saja karena kita berdoa di tempat yang indah, tapi juga karena kita memanjatkkannya di bulan yang berkah, di awal Ramadhan ini.”
Kalian sama-sama mengaminkan, lalu berpelukan, berciuman, bermesraan. Selanjutnya… ah sebaiknya memang tidak diceritakan. Yang terang, kalian juga seolah tak peduli, lupa, atau tak hendak bertanya:
Taman apa tempat kalian kini berada? (*)
Telepon Dari Makkah
MENJELANG keberangkatan haji kloter ketiga, kami sekeluarga boyongan ke
Sukoharjo. Ke rumah ibuku, tempat kedua orang tuaku menghabiskan masa pensiun
dari guru. Tahun ini jadwal keberangkatan haji mereka, setelah hampir lima
tahun menunggu giliran. Maklum semua orang kaya di Indonesia, termasuk
Sukoharjo ingin berangkat haji sebelum mati.
Aku sengaja mengambil cuti dari kantor selama
dua hari, Kamis-Jumat. Aku masih bisa tiga hari di rumah Ibu, sebelum Ahad
mereka berangkat. Setelah satu setengah jam naik pesawat, kami turun di Adi
Sumarmo dan dijemput adik iparku menuju Sukoharjo. Ibu meminta kami ikut
mengantar sampai bandara, sebelum terpisah selama kurang lebih empat puluh
hari.
“Mas, bagaimana perjalannya?” tanya adik iparku
yang sehari-hari bekerja sebagai Guru BK di SMP 1 Sukoharjo.
“Alhamdulillah, cuma Sekar dan Bunga yang rewel
minta roti asli Amerika. Padahal belum halal, MUI.” Aku melihat Sekar dan Bunga,
dua anak kembarku, cemberut sejak boarding di
Soekarno-Hatta. Istriku mengelus-elus kepalanya, biar tidak lagi menekuk muka.
Pelajaran halal dan haram, kudapatkan dari Ibu.
Ibu sangat hati-hati menjaga makanan. Menurut ibu, makanan adalah sumber
kemaksiatan. Sing ati-ati
ngonmu mangan, weteng kuwi
jalarane mata peteng. Hati-hati menjaga makan, karena makanan salah awal mula
kejahatan. Sejak kecil hingga sekarang, Ibu selalu menasihati agar jauh-jauh
dari makanan-makanan yang tidak baik. Dalam kamus Ibu baik di sini adalah
halal, sehat dan tidak berlebihan.
Pelajaran itu yang kutanamkan kepada Sekar dan
Bunga, meski kuketahui makanan cepat saji menyerbu mereka di sekolah, di pusat
perbelanjaan di hari-hari mereka. Istriku diam saja, menyaksikan jejeran pertokoan
di pertigaan Kalioso setelah keluar dari Adi Sumarmo.
***
“Ibu, kalau nanti sudah sukses. Aku bakal
berangkatkan ibu dan bapak ke Makkah.”
Aku bernazar demikian sebelum kuliah Teknik
Sipil di Jakarta. Aku mengatakannya dalam ketidaktahuanku berapa harga
berangkat haji kala itu. Dalam hati kubersumpah. Buat apa kaya banyak harta,
kalau memberangkatkan haji orang tua belum terlaksana.
“Amin, yo
Le….” Ibuku memeluk dan mengusap air mata yang tanpa disadari sudah
meleleh hingga pipi. “Jangan lupa sama keluargamu dan mertuamu juga nanti.
Jangan pilih kasih, mereka juga akan jadi keluargamu. Kalau bisa disengkuyung, diangkat bareng-bareng semuanya. Urun rembug bebarengan.”
Baru enam tahun lalu, ketika rumah sudah selesai
dibangun. Aku mendaftarkan ibu, bapak. Tak lupa istri, anak dan mertua. Karena
kabarnya, meski daftar sekarang belum tentu tahun depan berangkat. Benar. Baru
tahun baru kedua orang tuaku yang berangkat. Mungkin dua tahun lagi mertua dan
keluarga kecilku mendapatkan gilirannya.
Sampai di pelataran rumah, Ibu menyambutku
hangat. Bapak hanya duduk di emperan sambil membaca buku. Kacamatanya
bergantung di hidung. Dari Bapaklah, aku kecil bercita-cita memakai kacamata.
Mereka senang, anak bungsunya datang jauh-jauh dari Jakarta. Adik perempuanku menyiapkan
makan siang. Nasi dari beras Rojolele Delanggu, wader goreng, dan tumis daun
pepaya kegemaranku. Sekar dan Bunga masih saja cemberut, padahal sepupunya
sudah berkali-kali mengajak menangkap kinjeng, capung di
pelataran yang di penuhi kembang kenikir. Istri mendiamkan saja. Sudah
dikodenya aku, agar diam. Kalau capai mereka berdua pasti akan tidur, dan lupa.
Anak-anak memang perlu penanganan khusus.
“Sejak seminggu, bapakmu mengadakan pengajian.
Biar berangkat hajinya lancar, Le.” Ibu
masih saja mengambilkan nasi untuk kita semua. Tidak mau sedikitpun dibantu
istri atau adikku. Piring berisi nasi disorongkan ke istriku, baru istriku
mengambilkan sayur dan lauk yang sudah lama tidak kutemukan di Jakarta.
“Bapak, sudah hapal manasiknya kan?” aku bertanya
demikian, karena bapak tidak pandai membaca tulisan arab seperti ibu.
“Haji Karim, kemarin meng-Indonesiakan-nya.
Dituliskannya Bapak manasik itu dengan tulisan latin. Alhamdulillah, sudah mulai hapal. Kalau
lupa ya, nanti dibuka lagi catatannya.” Bapak menjawab sambil menggiring sendok
nasi ke dalam mulut.
Istriku memberi kode, untuk menanyakan bekal dan
barang bawaan. Istriku tidak mau dinilai sebagai menantu yang tidak perhatian,
apalagi dinilai menantu pelit.
“Bekal sudah lengkap, Bu?” aku mengamati ibu
dengan kerudung katun warna hitam dan daster batik longgar.
“Sudah. Adikmu kemarin yang beli. Gamis dan
bekal-bekal sesuai instruksi Haji Karim kemarin.”
“Paling ibu butuh tambahan uang saku lagi, Mas.”
Adikku menyeletuk, tentu maksudnya bukan meneror. Tetapi merenyahkan
pembicaraan siang itu. Sebulan yang lalu sudah kepersiapkan sekitar lima belas
juta untuk uang saku ibu bapak ke Arab. Besok atau sore nanti ke bank untuk
tukar riyal dan transfer.
“Itu sudah disiapkan.” Semua justru tertawa. Ibu
dan Bapak tersenyum bangga, kedua anak dan menantunya akur. Di usia senja
mereka, masih bisa kuhadiahi tiket dan uang saku ke Makkah. Meskipun itu tidak
akan bisa menebus semua kebaikan mereka berdua.
Sebelum berangkat, aku mengikuti pengajian di
rumah yang dipimpin Haji Karim. Jamaah mendoakan agar selama ibadah lancar dan
pulang menjadi haji mabrur. Teman-teman guru ibu dan bapak, mantan muridnya
berdatangan memberikan doa dan tentu menitip doa. Seperti kebiasaan, mereka
menitip doa agar segera dipanggil Allah untuk ke Makkah.
Masih sempat aku mengajak istri dan kedua
kembarku untuk makan tengkleng kambing di daerah Keraton Solo, setelah
menukarkan rupiah ke riyal dan langsung kutransfer ke rekening ibu. Adik iparku
meminjamkan mobil APV warna hitam untuk kubawa. Sekar dan Bunga sudah tidak
cemberut seperti kemarin. Mereka senang sekali mencicipi serabi Notosuman
dengan toping keju.
Dalam hati, “Mendingan serabi, sudah
murah dan pasti halal. Nggak seperti roti Amerika.”
Dan tiba hari Ahad.
Satu bus, satu mobil APV dan mobil kijang sewaan
mengantarkan ibu dan bapak ke bandara. APV dan kijang berisi kami sekeluarga
dan keluarga besan. Sedang bus disediakan untuk kerabat, tetangga dan kawan
ibu-bapak yang ingin mengantar. Di bandara rombongan kami langsung berbaur dengan
orang-orang yang sibuk mengantar. Kupeluk Ibu dan Bapak sebelum mereka akan
bergabung dengan semua rombongan.
“Le, jaga
keluargamu dan adikmu. Anak-anakmu sudah besar, kamu harus lebih hati-hati
menghidupi keluargamu.”
“Iya Bu.”
“Kalau sempat pulang ke rumah, bantu adikmu
mengurus pengajian di rumah.” Giliran Bapak memelukku.
“Semoga bisa khusyuk dan hajinya mabrur.”
“Amin.” Kami semua seirama mengaminkan.
Adikku, menantu-menantunya dan semua cucu,
besan, kerabat dan tetangga dipeluk dan disalami satu-satu. Doa Haji Karim
menutup keberangkatan. Meski ada air mata, tapi kuyakin air mata itu adalah air
mata bahagia dan buncah bangga.
Aku sekeluarga berencana terbang kembali ke
Jakarta malamnya. Adikku sudah membungkuskan dalam dua kardus bekas mie instan oleh-oleh
khas buatan Sukoharjo. Rempeyek wader, keripik pisang raja, dan serundeng
kelapa kegemaran istriku. Flight kami jam
delapan. Semoga tidak ada delay.
***
Kamis pukul sebelas, Bapak menelepon langsung
dari Makkah.
“Le, ibumu
sakit panas. Sejak habis isya, ibumu pingsan belum siuman. Panasnya sampai 39
derajat.”
Deg. Panas
demikian sudah sangat mengkhawatirkan. Aku langsung teringat penyakit gula ibu
yang setahun lalu pernah kambuh. Sedikit kacau pikiranku. Setiap jam aku
menelepon bapak dan adikku di Sukoharjo. Aku selalu ingin mendapatkan kabar
langsung dari Makkah. Kamis sore aku sendirian terbang ke Sukoharjo, istriku
menemani dua kembar yang sedang ujian tengah semester.
Adikku mengadakan doa bersama di rumah, agar Ibu
segera sadar dari siuman dan segera menyelesaikan mimpinya ibadah haji. Adikku
terisak-isak melantunkan surat yasin dan zikir. Di sepertiga malamnya, serumah
mendirikan salat hajat. Kami bermunajat agar Ibu segera sembuh dan pulang ke
Indonesia dalam kondisi sehat. Doa di sepertiga malam jumat langsung di dengar
Allah. Makbulan.
Hari Jumat pukul 12 malam, Bapak menelepon.
“Alhamdulillah, ibumu
siuman. Panasnya juga sudah normal. Dicek dokter, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi.”
Kami semua bernapas lega.
“Le, ibumu
mau ngomong sama kamu.”
Handphone sengaja ku-setting loudspeaker.
“Assalamu’alaykum, Bu.”
“Wa’alaykumussalam,” suara
Ibu sedikit serak.
“Sudah sehat kan Bu? Kami semua di tanah air
khawatir.”
“Alhamdulillah baik.”
Ibu terdiam, sepertinya ada yang ingin
disampaikan.
“Le, ibu mau
cerita. Tapi janji jangan ditertawakan, apalagi dianggapngawur.”
“Nggak, Bu.” Aku mengiyakan, karena di tanah
suci semua hal bisa terjadi.
“Selama pingsan ibu bermimpi. Ibu bermimpi
berada di daerah yang sejuk sekali. Sejuknya melebihi AC di rumahmu, Le. Lapangnya hijau, buah-buahan ranum dan wangi
aromanya. Ibu sempat memetik matoa, lebih manis ketimbang milik kita di
belakang rumah. Tapi mimpi itu benar-benar seperti nyata. Ibu bisa merasakan
hawa sejuknya, rasa manis matoanya. Bahkan ibu sempat duduk di kursi yang
empuknya benar-benar empuk.”
Aku terdiam. Seumur hidup ibu adalah orang yang
paling jujur. Aku teringat kisah-kisah orang salih yang diperlihatkan surga di
dunia. Serumah yang ikut mendengarkan terisak haru menahan air mata.
“Tapi ada yang ibu bingungkan.”
“Apa, Bu?”
“Ibu bingung. Ibu tidak melihatmu di sana.
Bapakmu, istrimu, adikmu dan iparmu. Bahkan cucu-cucuku ada di sana. Tapi kamu
tidak ada. Ibu bertanya kepada Allah, kok nggak ada kamu. Belum ada jawaban,
Ibu sudah siuman. Ibu masih bingung sampai sekarang,Le.”
“Masa Bu? Ibu belum sempat melihat mungkin.”
“Tidak ibu yakin. Ibu mau tanya, uang untuk
berangkat haji ini halal seratus persen, kan?”
kudengar Ibu sempat terisak menangis.
Semua mata di rumah kini terbelalak heran. Aku meneteskan
air mata, kacamataku berembun karenanya. Aku teringat dua tahun lalu, aku
menerima hadiah berupa emas batangan dari sebuah proyek pembangunan gedung
olahraga di Palembang. Aku mengelus dada, dan telepon dari Ibu sudah putus di
tutup. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)