MENJELANG keberangkatan haji kloter ketiga, kami sekeluarga boyongan ke
Sukoharjo. Ke rumah ibuku, tempat kedua orang tuaku menghabiskan masa pensiun
dari guru. Tahun ini jadwal keberangkatan haji mereka, setelah hampir lima
tahun menunggu giliran. Maklum semua orang kaya di Indonesia, termasuk
Sukoharjo ingin berangkat haji sebelum mati.
Aku sengaja mengambil cuti dari kantor selama
dua hari, Kamis-Jumat. Aku masih bisa tiga hari di rumah Ibu, sebelum Ahad
mereka berangkat. Setelah satu setengah jam naik pesawat, kami turun di Adi
Sumarmo dan dijemput adik iparku menuju Sukoharjo. Ibu meminta kami ikut
mengantar sampai bandara, sebelum terpisah selama kurang lebih empat puluh
hari.
“Mas, bagaimana perjalannya?” tanya adik iparku
yang sehari-hari bekerja sebagai Guru BK di SMP 1 Sukoharjo.
“Alhamdulillah, cuma Sekar dan Bunga yang rewel
minta roti asli Amerika. Padahal belum halal, MUI.” Aku melihat Sekar dan Bunga,
dua anak kembarku, cemberut sejak boarding di
Soekarno-Hatta. Istriku mengelus-elus kepalanya, biar tidak lagi menekuk muka.
Pelajaran halal dan haram, kudapatkan dari Ibu.
Ibu sangat hati-hati menjaga makanan. Menurut ibu, makanan adalah sumber
kemaksiatan. Sing ati-ati
ngonmu mangan, weteng kuwi
jalarane mata peteng. Hati-hati menjaga makan, karena makanan salah awal mula
kejahatan. Sejak kecil hingga sekarang, Ibu selalu menasihati agar jauh-jauh
dari makanan-makanan yang tidak baik. Dalam kamus Ibu baik di sini adalah
halal, sehat dan tidak berlebihan.
Pelajaran itu yang kutanamkan kepada Sekar dan
Bunga, meski kuketahui makanan cepat saji menyerbu mereka di sekolah, di pusat
perbelanjaan di hari-hari mereka. Istriku diam saja, menyaksikan jejeran pertokoan
di pertigaan Kalioso setelah keluar dari Adi Sumarmo.
***
“Ibu, kalau nanti sudah sukses. Aku bakal
berangkatkan ibu dan bapak ke Makkah.”
Aku bernazar demikian sebelum kuliah Teknik
Sipil di Jakarta. Aku mengatakannya dalam ketidaktahuanku berapa harga
berangkat haji kala itu. Dalam hati kubersumpah. Buat apa kaya banyak harta,
kalau memberangkatkan haji orang tua belum terlaksana.
“Amin, yo
Le….” Ibuku memeluk dan mengusap air mata yang tanpa disadari sudah
meleleh hingga pipi. “Jangan lupa sama keluargamu dan mertuamu juga nanti.
Jangan pilih kasih, mereka juga akan jadi keluargamu. Kalau bisa disengkuyung, diangkat bareng-bareng semuanya. Urun rembug bebarengan.”
Baru enam tahun lalu, ketika rumah sudah selesai
dibangun. Aku mendaftarkan ibu, bapak. Tak lupa istri, anak dan mertua. Karena
kabarnya, meski daftar sekarang belum tentu tahun depan berangkat. Benar. Baru
tahun baru kedua orang tuaku yang berangkat. Mungkin dua tahun lagi mertua dan
keluarga kecilku mendapatkan gilirannya.
Sampai di pelataran rumah, Ibu menyambutku
hangat. Bapak hanya duduk di emperan sambil membaca buku. Kacamatanya
bergantung di hidung. Dari Bapaklah, aku kecil bercita-cita memakai kacamata.
Mereka senang, anak bungsunya datang jauh-jauh dari Jakarta. Adik perempuanku menyiapkan
makan siang. Nasi dari beras Rojolele Delanggu, wader goreng, dan tumis daun
pepaya kegemaranku. Sekar dan Bunga masih saja cemberut, padahal sepupunya
sudah berkali-kali mengajak menangkap kinjeng, capung di
pelataran yang di penuhi kembang kenikir. Istri mendiamkan saja. Sudah
dikodenya aku, agar diam. Kalau capai mereka berdua pasti akan tidur, dan lupa.
Anak-anak memang perlu penanganan khusus.
“Sejak seminggu, bapakmu mengadakan pengajian.
Biar berangkat hajinya lancar, Le.” Ibu
masih saja mengambilkan nasi untuk kita semua. Tidak mau sedikitpun dibantu
istri atau adikku. Piring berisi nasi disorongkan ke istriku, baru istriku
mengambilkan sayur dan lauk yang sudah lama tidak kutemukan di Jakarta.
“Bapak, sudah hapal manasiknya kan?” aku bertanya
demikian, karena bapak tidak pandai membaca tulisan arab seperti ibu.
“Haji Karim, kemarin meng-Indonesiakan-nya.
Dituliskannya Bapak manasik itu dengan tulisan latin. Alhamdulillah, sudah mulai hapal. Kalau
lupa ya, nanti dibuka lagi catatannya.” Bapak menjawab sambil menggiring sendok
nasi ke dalam mulut.
Istriku memberi kode, untuk menanyakan bekal dan
barang bawaan. Istriku tidak mau dinilai sebagai menantu yang tidak perhatian,
apalagi dinilai menantu pelit.
“Bekal sudah lengkap, Bu?” aku mengamati ibu
dengan kerudung katun warna hitam dan daster batik longgar.
“Sudah. Adikmu kemarin yang beli. Gamis dan
bekal-bekal sesuai instruksi Haji Karim kemarin.”
“Paling ibu butuh tambahan uang saku lagi, Mas.”
Adikku menyeletuk, tentu maksudnya bukan meneror. Tetapi merenyahkan
pembicaraan siang itu. Sebulan yang lalu sudah kepersiapkan sekitar lima belas
juta untuk uang saku ibu bapak ke Arab. Besok atau sore nanti ke bank untuk
tukar riyal dan transfer.
“Itu sudah disiapkan.” Semua justru tertawa. Ibu
dan Bapak tersenyum bangga, kedua anak dan menantunya akur. Di usia senja
mereka, masih bisa kuhadiahi tiket dan uang saku ke Makkah. Meskipun itu tidak
akan bisa menebus semua kebaikan mereka berdua.
Sebelum berangkat, aku mengikuti pengajian di
rumah yang dipimpin Haji Karim. Jamaah mendoakan agar selama ibadah lancar dan
pulang menjadi haji mabrur. Teman-teman guru ibu dan bapak, mantan muridnya
berdatangan memberikan doa dan tentu menitip doa. Seperti kebiasaan, mereka
menitip doa agar segera dipanggil Allah untuk ke Makkah.
Masih sempat aku mengajak istri dan kedua
kembarku untuk makan tengkleng kambing di daerah Keraton Solo, setelah
menukarkan rupiah ke riyal dan langsung kutransfer ke rekening ibu. Adik iparku
meminjamkan mobil APV warna hitam untuk kubawa. Sekar dan Bunga sudah tidak
cemberut seperti kemarin. Mereka senang sekali mencicipi serabi Notosuman
dengan toping keju.
Dalam hati, “Mendingan serabi, sudah
murah dan pasti halal. Nggak seperti roti Amerika.”
Dan tiba hari Ahad.
Satu bus, satu mobil APV dan mobil kijang sewaan
mengantarkan ibu dan bapak ke bandara. APV dan kijang berisi kami sekeluarga
dan keluarga besan. Sedang bus disediakan untuk kerabat, tetangga dan kawan
ibu-bapak yang ingin mengantar. Di bandara rombongan kami langsung berbaur dengan
orang-orang yang sibuk mengantar. Kupeluk Ibu dan Bapak sebelum mereka akan
bergabung dengan semua rombongan.
“Le, jaga
keluargamu dan adikmu. Anak-anakmu sudah besar, kamu harus lebih hati-hati
menghidupi keluargamu.”
“Iya Bu.”
“Kalau sempat pulang ke rumah, bantu adikmu
mengurus pengajian di rumah.” Giliran Bapak memelukku.
“Semoga bisa khusyuk dan hajinya mabrur.”
“Amin.” Kami semua seirama mengaminkan.
Adikku, menantu-menantunya dan semua cucu,
besan, kerabat dan tetangga dipeluk dan disalami satu-satu. Doa Haji Karim
menutup keberangkatan. Meski ada air mata, tapi kuyakin air mata itu adalah air
mata bahagia dan buncah bangga.
Aku sekeluarga berencana terbang kembali ke
Jakarta malamnya. Adikku sudah membungkuskan dalam dua kardus bekas mie instan oleh-oleh
khas buatan Sukoharjo. Rempeyek wader, keripik pisang raja, dan serundeng
kelapa kegemaran istriku. Flight kami jam
delapan. Semoga tidak ada delay.
***
Kamis pukul sebelas, Bapak menelepon langsung
dari Makkah.
“Le, ibumu
sakit panas. Sejak habis isya, ibumu pingsan belum siuman. Panasnya sampai 39
derajat.”
Deg. Panas
demikian sudah sangat mengkhawatirkan. Aku langsung teringat penyakit gula ibu
yang setahun lalu pernah kambuh. Sedikit kacau pikiranku. Setiap jam aku
menelepon bapak dan adikku di Sukoharjo. Aku selalu ingin mendapatkan kabar
langsung dari Makkah. Kamis sore aku sendirian terbang ke Sukoharjo, istriku
menemani dua kembar yang sedang ujian tengah semester.
Adikku mengadakan doa bersama di rumah, agar Ibu
segera sadar dari siuman dan segera menyelesaikan mimpinya ibadah haji. Adikku
terisak-isak melantunkan surat yasin dan zikir. Di sepertiga malamnya, serumah
mendirikan salat hajat. Kami bermunajat agar Ibu segera sembuh dan pulang ke
Indonesia dalam kondisi sehat. Doa di sepertiga malam jumat langsung di dengar
Allah. Makbulan.
Hari Jumat pukul 12 malam, Bapak menelepon.
“Alhamdulillah, ibumu
siuman. Panasnya juga sudah normal. Dicek dokter, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan lagi.”
Kami semua bernapas lega.
“Le, ibumu
mau ngomong sama kamu.”
Handphone sengaja ku-setting loudspeaker.
“Assalamu’alaykum, Bu.”
“Wa’alaykumussalam,” suara
Ibu sedikit serak.
“Sudah sehat kan Bu? Kami semua di tanah air
khawatir.”
“Alhamdulillah baik.”
Ibu terdiam, sepertinya ada yang ingin
disampaikan.
“Le, ibu mau
cerita. Tapi janji jangan ditertawakan, apalagi dianggapngawur.”
“Nggak, Bu.” Aku mengiyakan, karena di tanah
suci semua hal bisa terjadi.
“Selama pingsan ibu bermimpi. Ibu bermimpi
berada di daerah yang sejuk sekali. Sejuknya melebihi AC di rumahmu, Le. Lapangnya hijau, buah-buahan ranum dan wangi
aromanya. Ibu sempat memetik matoa, lebih manis ketimbang milik kita di
belakang rumah. Tapi mimpi itu benar-benar seperti nyata. Ibu bisa merasakan
hawa sejuknya, rasa manis matoanya. Bahkan ibu sempat duduk di kursi yang
empuknya benar-benar empuk.”
Aku terdiam. Seumur hidup ibu adalah orang yang
paling jujur. Aku teringat kisah-kisah orang salih yang diperlihatkan surga di
dunia. Serumah yang ikut mendengarkan terisak haru menahan air mata.
“Tapi ada yang ibu bingungkan.”
“Apa, Bu?”
“Ibu bingung. Ibu tidak melihatmu di sana.
Bapakmu, istrimu, adikmu dan iparmu. Bahkan cucu-cucuku ada di sana. Tapi kamu
tidak ada. Ibu bertanya kepada Allah, kok nggak ada kamu. Belum ada jawaban,
Ibu sudah siuman. Ibu masih bingung sampai sekarang,Le.”
“Masa Bu? Ibu belum sempat melihat mungkin.”
“Tidak ibu yakin. Ibu mau tanya, uang untuk
berangkat haji ini halal seratus persen, kan?”
kudengar Ibu sempat terisak menangis.
Semua mata di rumah kini terbelalak heran. Aku meneteskan
air mata, kacamataku berembun karenanya. Aku teringat dua tahun lalu, aku
menerima hadiah berupa emas batangan dari sebuah proyek pembangunan gedung
olahraga di Palembang. Aku mengelus dada, dan telepon dari Ibu sudah putus di
tutup. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar