Rabu, 19 September 2012

- Aku -


AKULAH ketika kau mencinta. Akulah ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi terang. Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak.
Seperti keputusan yang akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan, kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut syarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu. Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah, lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke syaraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak.
Aku menggerakkanmu. Meski selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu.

Aku melihatmu tapi kamu belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak, setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara, setiap kecapan rasa.
Keberadaanku sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa seringkali menimbulkan salah tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan. Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan bersahabat denganku?

Sudah kubilang, aku adalah ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama, kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku.

Aku adalah tumbuh. Juga tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya, aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan. Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup, dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku?

Aku sebenarnya tak membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu. Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu. Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu. Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit, kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan untukmu.

Kadang memang butuh proses untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu, sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu. Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku.

Aku adalah ketuntasan. Aku adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku, utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun. Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu.

Aku tak membeda-bedakan siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta. Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala sumber; pikiranmu, kreasimu, napasmu, denyut jantungmu.

Aku ada di dalam aku juga ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan selalu ada karena aku adalah aku.

Seorang anak kecil bertanya kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu. 

Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku.
Sungguh sangat mudah untuk kita saling bertemu, saling melihat, dan saling  memahami. Meskipun aku begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku. (*)


Sepasang Sosok Yang Menunggu


KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup kita.
Jacklah yang membawa kita pada kehidupan seperti ini. Dulu kita tinggal di sebuah tempat yang lembap dan penuh asap, di mana botol minuman berjejer pada lemari. Kamu memiliki banyak teman sementara aku sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi satu. Hingga hanya kita berdua tersisa. Seluruh waktu kita hanya dipenuhi kamu yang mengeluh tak bisa melepaskan sepatumu.
“Coba gerakkan jari-jari kakimu kalau begitu,” kataku.
“Tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
“Sudah. Dan tidak bisa. Aku bahkan tak bisa merasakan jari-jari kakiku.”
Dari balik tirai tipis asap, setiap malam kita melihat Jack menari dengan topi dan tongkat kayu hitam. Semua orang tertawa melihat gerakan Jack, termasuk kita. Kadang dia bahkan mengeluarkan merpati dari topinya. Diam-diam kita jadi pengagum rahasia Jack, merekam dia dalam ingatan.
Pertemuan sungguhan kita dengan Jack terjadi pada suatu malam dengan hujan deras. Jack tak henti-hentinya memanggil-manggil dan menggedor-gedor pintu.
Leona, perempuan yang memiliki tempat ini, keluar dari kamarnya di belakang.
“Kaukah itu, Jack?” kata Leona dari balik pintu, “Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun yang melibatkan cinta.”
“Aku baru saja ingat,” pekik Jack, “aku harus mendapatkan dua boneka itu.”
“Anak gadisku berulang tahun hari ini.”
Kita tak pernah paham isi pembicaraan Jack dan kawan-kawannya. Mereka menggunakan bahasa yang tidak kita kenal. Kita mengetahui nama mereka dari kata yang paling sering digunakan orang lain agar mereka menengokkan kepala.
Kita selalu ingat suasana di balik jas hitam Jack ketika dia membawa kita pada malam itu, menembus hujan, entah ke mana. Gelap dan hangat. Aku bisa merasakan dada Jack berdegup. Coba ingatlah kembali, sebuah tempat yang gelap dan hangat di mana kamu bisa mendengar degup dada seseorang.
Jack membawa kita ke sebuah tempat yang nantinya kita sadari sebagai tempat tinggalnya. Kelak, setelah meninggalkan tempat itu kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing pada lorong dan suasana ketika Jack menunggu pintu untuk dibukakan. Tubuhnya makin hangat, degup dadanya makin cepat.
Suara pintu berderit.
“Di mana dia?” kata Jack. Kita tersembunyi dengan aman di balik jasnya.
“Sudah tidur. Pelankan suaramu. Dia ketiduran menunggumu,” balas seorang perempuan. “Dia kejang lagi tadi sore.”
“Kamu serius?”
Malam itu kita menginap di sebuah lemari. Besoknya, Jack memasukkan kita ke dalam sebuah kotak. Kita menunggu dalam gelap gulita, lama sekali. Kita mengisi waktu dengan berspekulasi atas apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kurasa kita akan dikirim dengan kapal,” bisikku.
“Ke Amerika?”
“Semoga.” Kita berdua selalu ingin ke sana, meniru Leona.
Pintu lemari berderit. Seseorang membawa kita. Kita menunggu. Jack dan perempuan di pintu bernyanyi lagu yang tidak pernah kita dengar. “Selamat ulang tahun, Mary,” bisik si perempuan setelah lagu usai. Kita bisa merasakan Jack meraih kita dan menyerahkan kita kepada seseorang.
Kertas kado dirobek. Tutup kotak dibuka. Wajah seorang gadis dengan cengiran lebar tampil di hadapan kita. Kita berada di sebuah ruangan sempit dengan meja di tengah-tengahnya, dengan sebuah kue bundar di tengah-tengah meja. Semenjak itu, kita resmi dimiliki seseorang.
Gadis kecil itu bernama Mary. Meski masih kanak-kanak, dia bisa mengajari kita melakukan banyak hal, seperti makan malam formal, minum teh atau kopi, berciuman, dan berpegangan tangan. Tetapi Mary tak pernah mengajak kita bicara. Di sela-sela suara sayup klakson mobil, senandung Jane—Ibu Mary—ketika memasak, benda jatuh, kicau burung dalam sangkar, hanya terdapat keheningan. Kehidupan Mary tampak seperti gambar berwarna, namun tanpa suara dalam buku-buku cerita miliknya. Tetapi itu bukan masalah. Bahasalah masalah. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan kata-kata.
Di awal kita mengenalnya, Mary pernah mencoba melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan sepatumu pastilah direkat dengan lem paling ajaib di dunia.
Jack menghampiri Mary. “Ada apa, Sayang? Ada apa dengan bonekamu?”
Mary menyodorkanmu.
“Kamu ingin melepas sepatunya? Sayang sekali, kita tak bisa melakukannya.”
Kita berdua hanya bisa terus menunggu. Kamu tampak sangat berharap. Jack malah kembali ke dapur. Kita menjadi sangat kesal. Kenapa dia pergi, bahkan tanpa mencoba? Kita kecewa melihat sikapnya. Kamu menangis sepanjang malam. Benda hitam itu terasa tak nyaman di kakimu. Padahal semua orang berhak atas sepatu yang nyaman. Aku sendiri tak bersepatu, namun tak terganggu dengan kenyataan itu. Kamu terus saja murung. Semenjak itu, aku dan Mary sama-sama mengerti bahwa pembicaraan mengenai sepatu adalah tabu.
Suatu malam Mary pergi. Kita melihat sosok berbaju putih dan bersayap menggandeng tangannya. Mereka meluncur ke atas, menembus langit-langit. Apakah orang itu menculik Mary? Entahlah, kita tidak yakin. Kita mulai menghitung. Satu, dua, tiga… Mary sudah tak kembali dalam seminggu. Anehnya, Jack tak pernah mencarinya. Dia justru menangis tak henti-henti. Aku makin kecewa dengan Jack. Setelah sepatu, kini Mary. Berhentilah menghindar. Hadapilah. Inilah hidup. Kita pun meneriaki Jack: Cari dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak menghiraukan kita. Jack dan Jane hanya menangis, entah mengapa, dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack? Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?
Jack berubah. Kini dia sering pulang larut, dalam keadaan mabuk, dan akhirnya mengamuk. Dia akan menghancurkan barang-barang di meja. Gelas-gelas, piring-piring, botol bir yang dibawanya, adalah korban kemarahan Jack. Sementara Jane mengurung diri di kamarnya. Suatu kali dia melempar gelas, dan mengenai kita. Dia menghampiri kita lalu kembali menangis.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
“Mary, oh Mary, Papa telah melukai boneka kesayanganmu.”
Besok malamnya Jack membawa kita dan Jane ke sebuah restoran. Jalanan dipenuhi salju dan pendar lampu. Kita ingat Mary pernah mengajari kita makan malam dan tata caranya. Kita duduk tegak di antara Jack dan Jane, bersandar pada vas bunga.
“Jane, aku ingin membuat toko boneka.”
Jane berhenti mengunyah dan menatap Jack. “Toko boneka? Untuk apa?”
“Untuk Mary, Jane, untuk Mary….”
Jane hanya tersenyum dengan mata berair. Beberapa minggu kemudian kita pindah, ke kehidupan kita ini.
Di sini kita memiliki banyak teman. Beruang, anjing, juga kelinci gemuk. Jack menjejerkan kita semua di lemari. Tetapi kamu tak menemukan mereka yang sama sepertimu, begitu pun aku. Kamu menunggu dan terus menunggu. Aku telah seumur hidup menunggu. Kamu kesepian dan butuh teman yang sepadan. Setiap malam, ketika yang lain berpesta, kamu menyendiri di depan kaca raksasa, menatap bulan, sementara aku berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri.
Suatu hari seorang gadis dan perempuan yang kita kira adalah ibunya datang ke tempat ini. Dia membawa selebaran yang bergambar seseorang yang sepertimu!
“Maaf, gadis kecil, kami tidak menjual Barbie,” kata Jack, setelah melihat selebaran itu.
“Lalu apa itu,” kata ibu si gadis, menunjuk kepadamu. Aku bisa merasakan kamu terlonjak di tempatmu. Mungkin sudah waktunya kamu mendapatkan Mary lain. Entah mengapa aku mendadak merasa sedih.
“Itu beda, Madam. Namanya Lilli. Bild Lilli. Model lama. Mungkin Anda pernah dengar.”
“Tak masalah. Kami mau Lilli itu.”
“Itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Itu milik anak saya.”
“Lalu, mengapa ditaruh di lemari, kalau begitu? Berapa umur anak Anda sekarang?”
Kamu sangat bersemangat tetapi ternyata mereka tak membawamu hari itu. Tidak juga besok. Atau lusa. Kamu kembali sedih. Apa tidak ada yang menginginkanku, rintihmu, aku rindu Mary. Aku rindu Mary. Andai saja dia ada di sini.
Aku juga, pikirku. Andai saja dia ada di sini.
Kita berusaha melupakan kejadian itu dan melanjutkan hidup kita. Seiring waktu, Jack mulai sering menggunakan tongkat, kemudian berakhir setiap saat. Tetapi dia tidak lagi menari dan mengeluarkan merpati dari dalam topi. Dia hanya berjalan tertatih-tatih dari satu sisi ke sisi lain tempat ini, memegang sapu debu, membersihkan kita dan semua teman-teman kita. Rambutnya memutih, tubuhnya membungkuk. Jane mengunjunginya setiap rehat siang. Kadang mereka mengajak kita berdua makan bersama di ruangan belakang. Mereka makan sambil tertawa-tawa dan saling berkata, aku mencintaimu, sangat mencintaimu—kebiasaan yang akhirnya menular kepada kita.
Pada sebuah musim dingin, Jane mulai jarang membawakan makan siang dan akhirnya tak pernah terlihat lagi.
Hal itu membuatku sangat sedih. Kita ada di sana, menjadi penggemar rahasia Jack, merekam seluruh kehidupannya, tetapi sesungguhnya tak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Jane sudah kembali bersama dengan Mary,” bisikmu di telingaku, seolah tahu apa yang kupikirkan. Kata-katamu itu membuatku tenang.
Kini kita memiliki kehidupan yang lebih ceria dengan Jack. Dia tak pernah lupa mengunjungi tempat ini yang dia ubah namanya menjadi “Toko Mainan Mary & Jane”. Dia memindahkan kita ke hadapan kaca raksasa, seolah tahu keinginan kita. Kita melihat matahari terbit dan terbenam, orang-orang lalu lalang, juga bintang-bintang. Suara benturan tongkat Jack pada lantai memenuhi hidup kita. Dia bahkan mulai mengajak kita bicara. “Sebentar lagi aku akan pergi, menyusul Jane dan Mary.”
“Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya ya.”
Kemudian Jack mencium masing-masing kita, untuk pertama kali. Dia tampak sangat bahagia. Pastilah dia baru saja mengatakan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Kita terharu. Semenjak itu setiap sore, tepat setelah Jack membereskan tempat ini dan pergi, kita mulai menunggunya datang kembali.
Selama ini, Jack tak memahami kita dan kita tak memahami dia. Tetapi di antara aku, kau, dan Jack, selalu ada “Kita”.
“Aku kasihan pada toko ini,” kata seorang lelaki sayup-sayup, suaranya masuk melalui sela-sela pintu. Malam ini, hanya terlihat tiga bintang.
“Kenapa?”
“Pemiliknya baru meninggal, pagi tadi.”
“Hah? Kamu serius?”
“Ya. Dalam tidur. Ditemukan tukang susu yang curiga.”
“Wah, kasihan….”
“Iya, kasihan….”
“Hei, coba lihat dua boneka di etalase.”
“Boneka Barbie dan babi itu?”
“Yep. Mereka seperti sedang menanti seseorang.” (*)

Bunga-bunga Cinta


HANYA mukjizat yang membuat Bayu selamat dari musibah kecelakaan pesawat itu. Ia yang duduk di dekat pintu darurat berhasil menyelamatkan diri ketika pesawat yang  berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu gagal mendarat dan terbakar di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang.  Kecelakaan yang terjadi di sore yang dihiasi kabut tipis dan hujan itu menewaskan 20 penumpang dan melukai puluhan  lainnya.
Para petugas segera melarikan para korban kecelakaan ke beberapa rumah sakit terdekat. Termasuk di dalamnya Bayu yang menderita luka ringan di kaki, tangan dan wajahnya.
***
Sudah satu jam berlalu sejak breaking news mengenai pesawat yang gagal mendarat itu muncul di portal berita maupun televisi. Gadis muda berbaju putih, rok panjang coklat tua dan dipadu dengan kerudung coklat muda itu masih terpaku di resto Little Asia, Pejaten Village di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Mal yang selalu riuh rendah oleh pengunjung itu mendadak terasa sepi dan mati.
Rindu serasa tidak percaya kejadian tersebut. Beberapa jam lalu dia datang ke resto tersebut untuk bertemu dengan Pak Bayu. Lelaki setengah baya yang tanpa disadarinya selama bertahun-tahun mengisi relung batinnya.
Jangan pernah tanyakan kapan perasaan indah itu membelai lembut  hatinya? Apakah ketika ia terpeleset dan hampir terjatuh di depan gerbang kantor di hari pertama ia masuk kerja lima tahun silam? Ketika itu sebuah tangan kekar menyambar tangannya, menolongnya, dan tiba-tiba ia merasakan debaran aneh di dadanya.
Ataukah  ketika ia dan Pak Bayu sama-sama mengikuti kursus bahasa Arab di kantor tiap hari Selasa dan Rabu pagi? Ataukah, ketika ia dan Pak Bayu rutin setiap ba’da Zhuhur menyimak kuliah tujuh menit (kultum) di mushalla? Ataukah kenangan-kenangan lain? Perhatian-perhatian kecilnya, yang… kini ia rasakan penuh arti?
Ia tidak mungkin membohongi hatinya sendiri. Bagaimanapun ia adalah seorang wanita. Dengan kehalusan perasaannya, seorang wanita pasti merasakan kalau ada seorang pria yang menaruh perhatian padanya. Apalagi kalau perhatian itu diberikan dengan tulus ikhlas. Sebab, keikhlasan itu pasti terasa di hati.
Namun terkadang ia ragu—atau lebih tepatnya berusaha mengingkari perasaaan itu—semata-mata karena perbedaan usia di antara dia dan Pak Bayu. Dengan jarak  usia lebih 20 tahun, mungkinkah cinta itu akan mewujud nyata, dan ke manakah cinta itu akan membawa hubungan mereka?
Namun kini ia tidak mungkin lagi menghindari kebenaran di hatinya. Apalagi setelah Pak Bayu pindah ke Banjarmasin, dan menjadi direktur sebuah perusahaan batubara di sana, ia merasakan kehilangan yang sangat. Setahun yang lalu….
Di resto Litte Asia  itulah Rindu dan Bayu berjanji  untuk bertemu. Bayu akan langsung meluncur ke Pejaten Village, begitu dia mendarat di Soekarno-Hatta. Namun berita kecelakaan itu seakan memupus asa yang sudah membuncah di hati Rindu….
Rindu menggigit bibir tipisnya yang selalu kemerahan meski tanpa polesan lipstik. Air matanya menderas tanpa bisa ditahan“Ya Allah, Engkau Yang Mahakuasa dan Maha Penolong, hamba mohon selamatkanlah Pak Bayu. Izinkanlah hamba membahagiakannya. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar segala doa,”bisiknya lirih.
Ia mencoba menelepon Lina, sahabat dekatnya.
“Lin, pesawat Pak Bayu kecelakaan,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Masya Allah, Rin. Kecelakaan di mana? Maaf, aku masih di masjid, ikut pengajian bareng Mas Indra.”
“Pesawatnya gagal mendarat di Soekarno-Hatta. Dikhawatirkan banyak  penumpangnya tewas terbakar.”
“Astaghfirullaahal azhiim. Tabah, Rin. Kita doakan, semoga Pak Bayu selamat.”
“Kamu sekarang di mana?” tanya Lina.
“Aku masih di Pejaten Village. Semula aku dan Pak Bayu janjian ketemu di  Little Asia.”
“Tunggu aku di situ, Rin. Nanti aku minta izin suamiku  untuk menjemputmu dan menemanimu. Kita cari informasi bersama-sama.”
***
Tengah malam, saat terjaga, Bayu teringat HP-nya. Sesaat sebelum pesawat tinggal landas di Bandara Syamsoeddin Noor, HP tersebut dia matikan. Dia minta perawat untuk mengambilkan HP tersebut.
Begitu HP itu diaktifkan, ternyata ada miss call 33 kali dari nomor Rindu. Juga banyak sekali SMS. Sebagian besar berasal dari Rindu. “Ass, Pak Bayu, semoga Pak Bayu selamat.” “Ass, Pak Bayu, Bapak di mana?” “Ass, Pak  Bayu, saya mencintai dan merindukan Bapak.”
Menitik air mata Bayu membaca SMS dari Rindu. Gadis berusia 27 tahun itu mempunyai nama dan sifat yang santun dan anggun sama seperti almarhumah istrinya. Justru karena kesamaan itulah ia tidak berani mencintai gadis bermata teduh  itu. Ia takut dibilang egois.
Namun ternyata perasaan cinta itu tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Malah semakin lama, semakin kuat dan melekat. Akhirnya ia mencoba melakukan pembenaran untuk mengusir perasaan cinta itu dengan menyadarkan dirinya bahwa dia sudah berusia 47 tahun, sementara Rindu baru 27 tahun: sehingga dia tidak pantas berharap untuk mencintai dan dicintai gadis asal Bandung itu.  Namun ternyata gadis tinggi semampai  itu meng-KO-nya dengan sebuah kalimat pendek, “Bapak berhak berharap dan Bapak punya kesempatan.”
***
Rindu dan Lina berjaga setiap saat di depan pesawat televisi untuk mendengarkan informasi terkini mengenai kecelakaan pesawat tersebut. Keduanya juga memantau lewat portal berita. Namun belum ada kejelasan berita mengenai nasib Pak Bayu.
Pukul 03.00, Rindu mengambil wudhu kemudian shalat Hajat, Tahajud dan Witir. Air matanya mengalir tiada henti. Di hadapan Rabb-nya yang Mahagagah Perkasa, di waktu ketika semua doa didengarkan dan dikabulkan oleh Allah Sang Pemilik Semesta, bibirnya tak henti-hentinya berbisik lirih, “Ya Allah, selamatkanlah Pak Bayu. Selamatkanlah Pak Bayu. Selamatkanlah lelaki yang kucintai….”
Pukul 04.00, tiba-tiba HP Rindu berbunyi. Lina yang pertama kali melihat nomor yang masuk di HP tersebut.
“Pak Bayu, Rin, Pak Bayu yang menelepon,” seru Lina.
Tanpa sadar Rindu meloncat dari atas sajadahnya. Dia segera mengangkat HP tersebut.
“Pak Bayu? Pak Bayu di mana? Bapak selamat ‘kan?” dia mencecar Bayu dengan pertanyaan.
“Assalaamu’alaikum, Rindu,” terdengar suara lembut di seberang sana.
“Wa’alaikumsalaam. Maaf, Pak. Saya sampai lupa mengucapkan salam. Saya sangat mengkhawatirkan keselamatan Bapak.”
“Alhamdulillah, Rin, berkat doamu, saya selamat. Cuma terluka dan memar sedikit. Ini buktinya sekarang bisa menelepon kamu.”
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau dengar dan kabulkan doaku, Engkau selamatkan Pak Bayu,” ujar Rindu dengan suara bergetar menahan haru.
“Terima kasih, Rin. Semoga Allah membalas segala kebaikan hatimu.”
“Pak Bayu sekarang di mana?” Tak sabar Rindu bertanya.
“Saya dirawat di rumah sakit,” ujar Bayu sambil menyebut nama sebuah rumah sakit di Jakarta Barat.
“Saya ke sana sekarang, Pak.”
“Nanti saja, Rin, tunggu hari siang.”
“Tidak, Pak, saya mau ke sana sekarang. Saya ingin memastikan bahwa Bapak selamat,” suara Rindu seperti tercekat menahan emosi.
“Terima kasih, Sayang… eh maaf.”
Rindu tersipu dan wajahnya mendadak merona merah mendengar kalimat Bayu yang terakhir.
***
Rindu dan Lina naik taksi. Menjelang akhir malam itu, lalu lintas ibukota masih relatif  sepi. Hanya butuh waktu setengah jam bagi keduanya untuk tiba di RS tersebut.
Rindu langsung menghambur ke ruang UGD. Ternyata Bayu sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kelas satu.
Ia mengetuk pintu tersebut, dan dengan tak sabar langsung masuk. Lina menyejajarinya di belakang sambil terengah-engah.
“Pak Bayu?” seru Rindu begitu melihat sosok lelaki tersebut.
Bayu menyambut kedatangan Rindu dengan sebuah senyuman.
“Rindu,” suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Gadis yang selama bertahun-tahun membalut hatinya itu betul-betul menjelma nyata di hadapannya. Air matanya menitik. “Ya Allah, Engkau kirimkan bidadari surga ini kepadaku. Kalimat syukur apakah yang pantas aku lantunkan kepada-Mu?” ujarnya dalam hati.
Bayu berusaha bangkit dari pembaringan. Namun tangan dan kakinya terasa sakit. Ia meringis.
“Bapak jangan banyak bergerak dulu. Bapak istirahat saja,” betapa lembut suara Rindu di telinga Bayu. Seperti nafiri surga membelai jiwa.
“Terima kasih atas kedatanganmu, Rin. Juga Lina, terima kasih mau bersusah payah malam-malam datang ke rumah sakit.”
“Iya, Pak. Soalnya ada seorang gadis yang dari tadi malam sangat gelisah dan mengkhawatirkan keselamatan Bapak. Dia sudah enggak sabaran ingin ketemu Bapak,” kata Lina sambil melirik ke arah Rindu. Yang dilirik mencubit tangan sahabatnya itu.
“Jangan bikin malu aku dong, Lin,” kata Rindu setengah berbisik.
Betapa banyak yang ingin Rindu ungkapkan kepada Pak Bayu. Namun  dadanya begitu sarat oleh rasa bahagia. Biarlah mata kedua insan itu yang bicara. Bukankah cahaya mata seringkali lebih fasih menyampaikan isi jiwa kita?
Rindu dan Lina shalat Shubuh di mushalla yang berada di samping rumah sakit. Seusai shalat, Rindu sujud syukur. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas segala pertolongan-Mu. Engkau selamatkan Pak Bayu.”
Setelah itu ia bergegas ke kamar perawatan  Bayu.
“Sudah selesai shalat Shubuhnya?”
“Sudah, Pak.”
“Kok cepat sekali? Biasanya kamu kalau selesai shalat, berdoanya lama?”
Ada damai menyusup di dada Rindu. “Subhanallah, Pak Bayu masih ingat hal tersebut. Ya Allah, betapa dia selama ini selalu memperhatikan saya,”ujarnya dalam hati. Tanpa disadarinya, bibirnya mengukir senyum.
“Kok senyum?”
Rindu tersadar. “A…pa, Pak?”
“Kok kamu senyum?”
“Ah enggak apa-apa, Pak.”
Bayu menghela napas panjang.
“Rin, saya punya satu permintaan,” kata  Bayu.
Rindu tertegun. “Permintaan apa, Pak?”
“Maukah engkau membisikkan di telingaku kalimat ‘Mas Bayu’?”
Rindu terkejut dan tergagap.
“Sa… sa… saya?”
“Mau enggak?”
Rindu melirik Lina yang tersipu, dan kemudian menoleh ke samping.
“Rin….”
“Pak Bayu… eh maksud saya, Mas Bayu….”
“Ulangi, Rin…”
“Mas Bayu.”
Rindu tersenyum dengan senyum terindah yang pernah disaksikan oleh Bayu selama hidupnya.
“Terima kasih, Rin.” Bayu begitu ingin menggenggam jemari lentik gadis yang selalu tampil anggun dengan jilbabnya itu. Namun ia sadar, gadis salehah itu belum halal baginya.
Di luar, gelap telah beranjak pulang. Matahari pagi datang bersama bunga-bunga cinta yang merekah di dada Rindu. (*)


.
Catatan penulis:
Cerpen ini merupakan sekuel cerpen “Bulir-bulir Rindu” (Republika, 1 Juni 2012). Judul “Bunga-bunga Cinta” berasal dari usulan Mbak Wahidah, redaktur Islam Digest (redaktur Sastra) Republika. Insya Allah cerpen ini masih ada lanjutannya, yakni “Sepanjang Jalan Cinta” dan satu cerpen lagi yang judulnya masih dicari.

Potret Lusuh.


MATA lelaki tua itu menerawang. Hening bola matanya seolah sedang menyaksikan sebuah diorama yang membentang merelief hingga ke ujung pandangan. Diorama yang begitu memilukan, meski juga yang begitu sarat dengan sanjung puji terhadap sebentuk kesetiaan. Sesuatu yang sudah teramat langka untuk ditemukan pada saat ini. Di sampingnya, seorang bocah laki-laki kurus berbaring bersamanya di pelupuh bambu, dipan usang yang ada di petak ruangan itu. Mat Hasan menghela napas. Suaranya pecah dalam kebisuan malam.
“Cerita ini sudah seringkali kau dengar.”
“Tapi aku mau mendengarkannya lagi, Cang.”
“Kau tidak bosan?”
Lelaki kecil menggeleng.
“Lalu, kau harus tidur sesudahnya.” Mat Hasan mengelus kepala si bocah.
Bocah kecil itu mengangguk. Memiringkan badan sambil bertelekan di atas bantal kapuk yang apek dan berminyak. Sarung bantalnya jarang dicuci. Di luar angin malam masih mencumbui penjuru kota dengan kesiur dinginnya. Lembab bersama gerimis yang sebentar datang.
***
KESUNYIAN berlalu beriringan bersama hembusan angin. Melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah yang tak bisa diputar kembali. Langkahnya mengalun, menggumamkan kidung-kidung penantian. Perih. Laksana balada yang menguak luka. Begitu terus. Selalu bagi perempuan itu.
Nyaris setengah abad dia menatapi potret itu. Menunggu, menepikan sejumput kenangannya di butir-butir pasir yang basah. Kadang dia berdiri di tepian Bandar Jakarta, menghirup aroma hangat laut yang menggelayutkan impiannya. Kadang pula duduk di bebatuan di sudut jingga pantai menyaksikan deburan ombak menggulung, mengempas pantai, menabrak karang-karang kecil, mengikis pasir dan bergulung kembali, berlalu menjauh seraya menarik serpihan hatinya.
Rukayah, perempuan tua itu setia menemani camar-camar datang dan pergi di atas biru laut. Setia seperti cara dia berpakaian. Berkebaya model lama yang selalu berbau cendana. Tak mempan tergoda rayuan zaman dengan berbagai ragam model dan bentuk pembalut kulit. Masih seperti puluhan tahun lalu jua. Tatkala kain batiknya tampil cemerlang membungkus tubuh sintalnya. Kini, hanya lunglai yang menerpa persendian, hanya kulit yang mengerut. Hanya rambut yang menipis, memerak lekang melawan perubahan meski tetap dikonde cepol. Keunikan yang sungguh tampak aneh di masa sekarang.
Keyakinannya begitu lekat, tidak berubah sedikit jua. Janseen akan menghampirinya dari seberang laut itu sembari membawa seikat bunga tulip yang dipesannya. Namun hari ini mulai melarut dalam kegelapan, memaksa perempuan itu beranjak tertatih dan sejenak melepaskan angan-angannya. Dia harus pulang dan mengumpulkan tenaga lagi supaya esok bisa tetap menanti separuh hatinya di tepi pantai yang telah mereka sepakati.
Lazuardi Jakarta perlahan menghitam didekap malam. Kerlip lampu mercusuar ditingkah lampu perahu nelayan mirip rombongan kunang-kunang. Dan di atas angkasa sana, sepotong bulan menyembul malu-malu, nyaris tidak terlihat lantaran tersaput pendar cahaya lampu kota.
“Dari pantai, Mpok?” sapa seorang pedagang gorengan keliling di depan gang rumah Rukayah. Seorang laki-laki setua Rukayah. Pikulan gorengan diletakkan di ujung gang, menanti pembeli menghampiri.
Iye,” jawab Rukayah ringkas. “Ente baru mangkal, San?” Rukayah balik bertanya.
“Sepuluh menit yang lewat. Tumben sepi malam ini.” Laki-laki yang disapa Rukayah membetulkan dingklik tempat dia duduk. Mat Hasan, tetangga Rukayah itu mengambil secarik kertas pembungkus, menaruh ubi dan pisang goreng beberapa butir di dalamnya, lantas menyodorkan ke Rukayah. “Ini, untuk cemilan,” ujar Mat Hasan.
“Terima kasih, San. Ente selalu aja baek.” Rukayah mengangsurkan tangannya, menerima pemberian Mat Hasan. Gemetar. Refleksnya telah jauh berkurang. Lantas dengan langkah perlahan Rukayah memasuki gang sempit yang hanya cukup dilewati satu mobil itu menuju rumahnya. Mat Hasan mengamatinya sejenak, lantas menggeleng-gelengkan kepala.
“Kasihan,” gumam Mat Hasan perlahan. “Sudah hilang ingatan, barangkali.” Mat Hasan termangu. Sejurus, Mat Hasan kembali sibuk, tangannya membolak-balik gorengan dengan capitan besi sembari menanti pembeli. Sesekali capitan itu dipukulkan ke pinggiran wajan. Suaranya nyaring memendar ke penjuru kampung.
***
RUMAH Rukayah terletak di ujung gang. Sebuah rumah tua bergaya Betawi yang halamannya tertata rapi. Ada pohon asam besar tumbuh di halaman samping rumah itu. Jika siang hari, anak-anak ramai bermain sembari memunguti buah asam matang yang berjatuhan. Kadangkala, anak-anak melompat-lompat menggapai buah asam yang masih bergelantungan di ranting, memanjat batang pohon atau menyodoknya dengan galah. Rukayah tak pernah melarangnya. Sayang juga kalau dibiarkan, bisa membusuk berjatuhan di tanah. Tertindas bersama daun-daunnya yang kecil melimpah. Kadangkala juga, ibu-ibu tetangga meminta sedikit untuk membuat sayur asam. Rukayah tak mau nyinyir dan pelit seperti Bu Haji yang kebunnya tepat berseberangan dengan rumah Rukayah. Kebun yang meski telantar, tetap tak boleh diinjak siapa pun. Buah-buah nangka yang masak sampai berjatuhan karena tak ada yang berani mengusiknya. Membusuk sia-sia.
Rukayah membuka pintu rumahnya, menyalakan lampu dan duduk sejenak di balai-balai sembari mengunyah pisang goreng hangat pemberian Mat Hasan. Kebetulan dia tidak sempat memasak nasi, hanya ada nasi pagi yang sudah dingin. Dan rasanya, nafsu makannya sedikit hilang. Terlampau penat sebab setiap hari setelah dia berjualan bunga-bunga di dekat sebuah pemakaman, sorenya Rukayah akan melangkah ke pantai. Sebuah rutinitas yang telah puluhan tahun dijalaninya. Sendiri, semenjak Janseen pulang ke negara asalnya di Negeri Kincir Angin sana. Janseen berjanji akan menjemputnya dan membawakan rangkaian bunga tulip untuk Rukayah. Itu yang dikatakannya lewat sahabatnya, Pieter Koch.
Biasanya, dulu jika malam menjelang, mereka berdua kerap berjalan-jalan menyusuri tepian pantai. Memperbincangkan harapan-harapan yang ruah menyesak. Bergandengan tangan, dan sesekali Janseen mengusap rambut panjangnya. Rambut yang memiliki warna eksotis, seperti juga kulitnya yang halus dan cokelat menawan. Atau di lain waktu, mereka mendatangi gedung-gedung kesenian. Sekadar menonton stambul atau pentas gambang kromong. Ah, sungguh masa-masa yang tiada terulang, batin Rukayah. Dan mereka pun akan menaiki sepeda Janseen. Melenggang di jalanan kota, menyisiri keremangan malam sampai di depan Stadhuis [1].
Rukayah selalu mengagumi bangunan-bangunan yang berdiri kokoh tinggi dengan pilar-pilarnya yang besar. Keangkuhan gedung itu, begitu menarik-narik keingintahuannya untuk memasuki tiap sudut ruangan. Meski dia sangat ngeri dengan riwayat sadis yang pernah menyelimuti tempat itu. Dan akhirnya, mereka memang hanya menyambangi pelataran gedung.
Jika Janseen mendapat libur dari kerjanya yang memusingkan, merancang gedung-gedung baru, mereka akan naik kereta. Mengunjungi daerah selatan Batavia yang sejuk. Memandangi hijaunya areal persawahan. Mengangankan tinggal di sana bersama sapi-sapi yang akan mereka pelihara. Sapi yang akan diperah dan diminum susunya tiap mereka bangun di pagi hari. Janseen sangat menyukai daerah selatan Batavia lantaran hawanya yang sejuk dan nuansanya yang mirip kampung halamannya. Dipenuhi tanah-tanah pertanian. Seperti juga tempat dia dilahirkan di sebuah tanah pertanian di Kraailand.
***
RUKAYAH tergopoh-gopoh menyiapkan bunga-bunga untuk taburan makam. Serombongan keluarga mengunjungi pemakaman dengan menaiki beberapa mobil mewah. Serombongan orang yang berpakaian hitam, berbadan tinggi besar dan berkulit putih kemerahan. Seperti kulit Janseen, batin Rukayah.
Mereka menahan langkah sejenak, menatap Rukayah, dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Rukayah. Samar-samar bahasa itu terdengar akrab di telinga Rukayah. Salah satu dari mereka, seorang wanita cantik berhidung bangir, berkerudung sekadarnya dan berkaca mata hitam menghampirinya dan berkata patah-patah.
“Boleh beli… bunga?” ucap wanita itu. Rukayah mengangguk dan segera menyiapkan sekeranjang kecil racikan kembang setaman, lalu mengangsurkannya dan berkata, “Sepuluh rebu rupiah.”
Si wanita menerima bunga dan membuka dompetnya. Lalu menyerahkan selembar uang seratus ribu. Rukayah terpaksa menarik kuncang penyimpanan uangnya dari balik stagen untuk mengambil kembalian. Lantaran gemetar tangannya yang terburu-buru, dia tidak menyadari sepotong kertas terjatuh dari lipatan kuncangnya. Selembar potret lusuh.
“Apa… itu?” ujar si wanita cantik sembari menerima kembalian. Dia lantas membungkuk untuk mengambil kertas yang terjatuh. Kertas film usang yang kekuning-kuningan dimakan usia. Namun gambar yang tercetak masih sangat jelas. Potret laki-laki muda yang rapi. Bergaya di beranda sebuah rumah. Kali ini, wanita itu terkejut. Seperti melihat hantu. Potret terhambur lepas dari tangannya. Nyaris saja keranjang bunga ikut terjatuh.
Beberapa rekannya yang mengamati kejadian itu, serta merta menghampiri si wanita sembari bertanya-tanya. Wanita itu menunjuk potret yang kini sudah tergenggam kembali di tangan Rukayah. Rukayah bengong. Apa yang salah? Apa yang keliru? Tatkala dia hendak memasukkan kembali potret itu ke lipatan kainnya, seorang laki-laki yang tua, setua dirinya, bergerak cepat menyambar potret itu. Gilirannya kini terbelalak.
“Dari mana dapat potret ini?” tanya laki-laki itu menyelidik.
“Itu, punya saya Mister. Itu potret Meneer Janseen, dia yang kasih saya buat disimpan.” Rukayah menjawab dengan kebingungan yang menyeruak. Mengapa hanya karena selembar potret, rombongan peziarah itu menjadi gaduh.
“Siapa… nama?”
“Saya Rukayah, Mister.”
“Rukayah… Rukayah, ha Rukayah!” Terdengar gemuruh orang-orang itu menyebut nama Rukayah. Mereka berpandangan dan berbicara kembali dalam bahasa mereka. Seorang lagi mendekati Rukayah dan mengangsurkan selembar potret usang ke arahnya. Kali ini Rukayah yang terbelalak. Potret dirinya! Puluhan tahun silam diberikan kepada Janseen. Masih ada beberapa potret yang sama yang disimpannya di rumah. Dia dan Janseen membuat dan mencetakfoto-foto itu di sebuah studio foto di Molenvliet Straat [2].
Sepenggalah waktu, rombongan itu memaksa Rukayah mengikuti mereka memasuki kompleks pemakaman. Rindang pepohonan kamboja menaungi pusara-pusara. Aroma kesunyian menyergap. Angin semilir menebarkan bau mistis pekuburan. Dan langkah Rukayah yang terseok-seok seperti dibelokkan angin menuju sebuah pusara tua yang tiada terawat.
Setelah mencari-cari, rombongan peziarah asing itu tiba di sebuah pusara yang dikelilingi rerimbunan ilalang dan rerumputan yang berbunga meliar menutupi nisan. Perlahan, beberapa orang menyibakkan dedaunan yang menghumus. Setelah beberapa kali mengusap nisan, tampak tertatah sederet tulisan yang mengguncang perasaan Rukayah. Dia tahu bunyi tulisan itu, dia tidak buta huruf. Janseen mengajarinya membaca huruf Latin.
Langit berputar dalam keterkejutan, bumi bergetar dalam kegamangan dan pepohonan bergoyang bimbang. Udara terasa sempit. Bergumpal-gumpal kerinduan yang menyesak di dada Rukayah terpecah mengiringi tubuh tua itu roboh menelungkup di atas pusara. Rukayah melolong. Orang-orang memandanginya.
Perlahan suara Rukayah mereda menjadi isak tangis sampai kesadarannya lenyap. Rukayah limbung di atas pusara. Pusara kekasihnya yang tiada terjaga. Dia pingsan.
***
RUKAYAH siuman dan mendapati dirinya terbaring di kasur empuk dalam sebuah ruangan berdinding putih bersih. Udara dingin menguar dari alat penyejuk ruangan. Dingin. Seperti dinginnya udara Jakarta di malam hari yang dahulu kerap dilaluinya bersama Janseen. Rukayah tersadar di sebuah kamar hotel mewah, dikelilingi orang-orang yang dijumpainya di pemakaman. Agaknya menginap di situ.
Bertuturlah seorang dari rombongan itu. Janseen yang Rukayah kenal adalah sepupu mereka yang dahulu ditunggu kedatangannya kembali di Kraailand. Namun, hanya sepucuk surat yang tiba berikut selembar foto perempuan Betawi. Rukayah namanya. Janseen memperkenalkan perempuan itu sebagai calon buyut dari para cicitnya kelak.
Dua purnama lagi, tulis Janseen, ia akan naik kapal. Pulang membawa Rukayah untuk diperkenalkan kepada keluarganya. Kenyataannya, Janseen tak pernah datang, tak pernah membawa perempuan itu ke kampung halamannya. Sepucuk kawat dikirim oleh sahabat Janseen yang bertugas di Angkatan Laut Kerajaan, Pieter Koch. Sebuah trem telah memupus semua impian lelaki muda itu di jalanan Batavia.
Kebohongan kecil Pieter, telah menjadikan kisah hidup Rukayah berbeda. Rukayah meyakini cerita Pieter tentang kepergian Janseen yang lebih dahulu dari rencananya tanpa sempat mengajaknya sebab sebuah urusan penting. Janseen hanya berjanji akan membawa seikat tulip untuk Rukayah. Pieter tak memberitahukan kabar sesungguhnya. Ia tak tega. Bahkan angin pun tak kuasa membisikkan elegi itu. Dedaunan dan ilalang enggan menggemerisikkan kabar nestapa. Sampai akhirnya Pieter juga kembali ke negerinya di masa genting, saat semua warga asing harus meninggalkan Indonesia. Diam-diam Pieter berharap, Rukayah akan melupakan Janseen dan menemukan lelaki lain, menganggap Janseen sebagai lelaki gombal yang ingkar janji.
Namun Rukayah tetap dalam penantiannya.
Demi janji yang telah terucap, Rukayah setia menanti di tepian Bandar Batavia. Tegak bergeming laksana nyiur. Dari mulai perahu nelayan yang berlalu lalang, hingga kapal-kapal dagang yang perkasa di lautan, Rukayah menghitung tiap senja. Terus menghitung bersama nuansa Batavia yang baru, Jakarta.
“Maafkan Janseen, Rukayah,” ucap seorang kerabat Janseen.
Rukayah mengangguk perlahan. Impiannya kini benar-benar pupus. Begitu terlambat untuk mengetahuinya. Sampai-sampai tak perlu lagi air mata diuraikan. Rukayah tabah. Baginya, kenangan bersama Janseen telah memberikan kekuatan mahadahsyat sedemikian lamanya dalam menghadapi cibiran dan menjalani perputaran roda kehidupan. Rukayah memutuskan akan tetap begitu hingga dia menyusul ke alam baka.Menjumpai Janseen di kehidupan kedua, melanjutkan perjanjian mereka di dunia.
Rombongan kerabat Janseen menawari Rukayah untuk ikut dan tinggal di Negeri Kincir Angin. Tetapi perempuan itu menolak dengan halus. Dia hanya minta dikirimi seikat bunga tulip.
Tatkala kiriman bunga itu tiba, layu dalam perjalanan, perempuan tua itu meletakkan sebagian di atas pusara Janseen. Sebagian lagi dia simpan menjadi potpouri dalam sebuah kotak kayu berlapis kain beludru merah. Potret lusuh Janseen ikut disimpan di kotak itu, menjadi sebuah memoir yang tak berwaris. Harta berharga Rukayah yang tidak lagi tersimpan di stagennya lantaran penantian itu ternyata fatamorgana.
***
TIAP senja, Rukayah tidak terlihat lagi berdiri di tepian laut. Pantai mulai merindukannya, karena perempuan itu tidak lagi menemani camar-camar yang riuh melayang di atas biru laut yang dengan cepat menjadi keruh. Dan pantai mulai tak sabar serta mengutuk perempuan tua itu. Atau justru pantai jengah dengan kesetiaan Rukayah dan meratapinya bersama sampah-sampah yang ikut terserak.
Seharian penuh Rukayah akan berada di pemakaman. Menanti para peziarah membeli bunga dagangannya. Dan kini, Rukayah menjalankan rutinitas baru. Membersihkan makam Janseen. Menaburinya dengan segenggam melati putih, bunga yang dulu dipuja Janseen sebagai hiasan konde cepolnya.
Setelah membersihkan dedaunan yang berguguran di atas pusara, Rukayah pulang saat langit di ufuk barat menjingga. Terlebih dahulu dia menyelimutkan seutas selendangnya di atas pusara hingga menutupi nisan. Dan kemudian perlahan, malam datang mengendap, merapatkan jubah kelamnya mendekap pusara dari hiruk pikuk Jakarta serta mengakhiri satu cerita hari itu.
***
“BAGAIMANA dengan nasib Rukayah selanjutnya, Cang?” anak kecil itu bertanya. Mat Hasan memandang cucu buyutnya dengan tenang. Anak kecil itu gelisah menanti cerita selanjutnya yang masih mengambang. “Apa dia masih hidup? Encang tak pernah mau menceritakan kelanjutannya,” tanya cucunya lagi.
Mat Hasan menggeleng. Hatinya perih. Dia berkali meminang perempuan itu namun berkali pula ditolak. Sampai akhirnya, seorang perempuan lain mengisi ceruk hatinya.
Suatu saat perempuan itu tertelungkup di atas pusara kekasihnya sampai berhari-hari. Tak ada yang mengetahuinya, meski burung-burung gagak ramai berkaok. Ah, burung gagak di atas pekuburan, hal yang biasa, pikir orang-orang. Namun ketika penjaga makam yang jarang-jarang muncul, sedang kebetulan datang, datang ketika musim ziarah menjelang puasa tiba, barulah ketahuan nasib perempuan itu. (*)


Catatan:
[1] Stadhuis : Balaikota
[2] Molenvliet Straat : Jalan Molenvliet, sekarang Jalan Gajah Mada di Jakarta