KITA akan selalu seperti ini. Duduk bersandingan sambil berpegangan
tangan. Kamu akan selalu menengok dan menatapku ketika tak ada orang. Sementara
itu, bunyi ketukan tongkat kayu Jack akan selalu memenuhi tempat ini. Mengalir
dari lantai, merambat melalui udara, masuk ke dalam tempat terdalam dari hidup
kita.
Jacklah yang membawa kita pada kehidupan seperti
ini. Dulu kita tinggal di sebuah tempat yang lembap dan penuh asap, di mana
botol minuman berjejer pada lemari. Kamu memiliki banyak teman sementara aku
sendirian. Teman-temanmu menghilang bersama pengunjung yang pulang, satu demi
satu. Hingga hanya kita berdua tersisa. Seluruh waktu kita hanya dipenuhi kamu
yang mengeluh tak bisa melepaskan sepatumu.
“Coba gerakkan jari-jari kakimu kalau begitu,”
kataku.
“Tidak bisa.”
“Coba saja dulu.”
“Sudah. Dan tidak bisa. Aku bahkan tak bisa
merasakan jari-jari kakiku.”
Dari balik tirai tipis asap, setiap malam kita
melihat Jack menari dengan topi dan tongkat kayu hitam. Semua orang tertawa
melihat gerakan Jack, termasuk kita. Kadang dia bahkan mengeluarkan merpati
dari topinya. Diam-diam kita jadi pengagum rahasia Jack, merekam dia dalam
ingatan.
Pertemuan sungguhan kita dengan Jack terjadi
pada suatu malam dengan hujan deras. Jack tak henti-hentinya memanggil-manggil
dan menggedor-gedor pintu.
Leona, perempuan yang memiliki tempat ini,
keluar dari kamarnya di belakang.
“Kaukah itu, Jack?” kata Leona dari balik pintu,
“Kenapa kamu kembali ke sini? Aku tak siap dengan apa pun yang melibatkan
cinta.”
“Aku baru saja ingat,” pekik Jack, “aku harus
mendapatkan dua boneka itu.”
“Anak gadisku berulang tahun hari ini.”
Kita tak pernah paham isi pembicaraan Jack dan
kawan-kawannya. Mereka menggunakan bahasa yang tidak kita kenal. Kita
mengetahui nama mereka dari kata yang paling sering digunakan orang lain agar
mereka menengokkan kepala.
Kita selalu ingat suasana di balik jas hitam
Jack ketika dia membawa kita pada malam itu, menembus hujan, entah ke mana.
Gelap dan hangat. Aku bisa merasakan dada Jack berdegup. Coba ingatlah kembali,
sebuah tempat yang gelap dan hangat di mana kamu bisa mendengar degup dada seseorang.
Jack membawa kita ke sebuah tempat yang nantinya
kita sadari sebagai tempat tinggalnya. Kelak, setelah meninggalkan tempat itu
kita akan selalu ingat pada bau tengik kucing pada lorong dan suasana ketika
Jack menunggu pintu untuk dibukakan. Tubuhnya makin hangat, degup dadanya makin
cepat.
Suara pintu berderit.
“Di mana dia?” kata Jack. Kita tersembunyi
dengan aman di balik jasnya.
“Sudah tidur. Pelankan suaramu. Dia ketiduran
menunggumu,” balas seorang perempuan. “Dia kejang lagi tadi sore.”
“Kamu serius?”
Malam itu kita menginap di sebuah lemari.
Besoknya, Jack memasukkan kita ke dalam sebuah kotak. Kita menunggu dalam gelap
gulita, lama sekali. Kita mengisi waktu dengan berspekulasi atas apa yang akan
terjadi selanjutnya.
“Kurasa kita akan dikirim dengan kapal,”
bisikku.
“Ke Amerika?”
“Semoga.” Kita berdua selalu ingin ke sana,
meniru Leona.
Pintu lemari berderit. Seseorang membawa kita.
Kita menunggu. Jack dan perempuan di pintu bernyanyi lagu yang tidak pernah
kita dengar. “Selamat ulang tahun, Mary,” bisik si perempuan setelah lagu usai.
Kita bisa merasakan Jack meraih kita dan menyerahkan kita kepada seseorang.
Kertas kado dirobek. Tutup kotak dibuka. Wajah
seorang gadis dengan cengiran lebar tampil di hadapan kita. Kita berada di
sebuah ruangan sempit dengan meja di tengah-tengahnya, dengan sebuah kue bundar
di tengah-tengah meja. Semenjak itu, kita resmi dimiliki seseorang.
Gadis kecil itu bernama Mary. Meski masih
kanak-kanak, dia bisa mengajari kita melakukan banyak hal, seperti makan malam formal,
minum teh atau kopi, berciuman, dan berpegangan tangan. Tetapi Mary tak pernah
mengajak kita bicara. Di sela-sela suara sayup klakson mobil, senandung
Jane—Ibu Mary—ketika memasak, benda jatuh, kicau burung dalam sangkar, hanya
terdapat keheningan. Kehidupan Mary tampak seperti gambar berwarna, namun tanpa
suara dalam buku-buku cerita miliknya. Tetapi itu bukan masalah. Bahasalah
masalah. Aku ingat kamu pernah mengatakan bahwa kata-kata sering kali gagal
saat kamu mencoba mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Dengan Mary, kita bisa
membagi perasaan tanpa berkata-kata. Aku, kau, dan Mary telah mengalahkan
kata-kata.
Di awal kita mengenalnya, Mary pernah mencoba
melepaskan sepatumu. Dia gagal melakukannya. Kaki dan sepatumu pastilah direkat
dengan lem paling ajaib di dunia.
Jack menghampiri Mary. “Ada apa, Sayang? Ada apa
dengan bonekamu?”
Mary menyodorkanmu.
“Kamu ingin melepas sepatunya? Sayang sekali,
kita tak bisa melakukannya.”
Kita berdua hanya bisa terus menunggu. Kamu
tampak sangat berharap. Jack malah kembali ke dapur. Kita menjadi sangat kesal.
Kenapa dia pergi, bahkan tanpa mencoba? Kita kecewa melihat sikapnya. Kamu
menangis sepanjang malam. Benda hitam itu terasa tak nyaman di kakimu. Padahal
semua orang berhak atas sepatu yang nyaman. Aku sendiri tak bersepatu, namun
tak terganggu dengan kenyataan itu. Kamu terus saja murung. Semenjak itu, aku
dan Mary sama-sama mengerti bahwa pembicaraan mengenai sepatu adalah tabu.
Suatu malam Mary pergi. Kita melihat sosok
berbaju putih dan bersayap menggandeng tangannya. Mereka meluncur ke atas,
menembus langit-langit. Apakah orang itu menculik Mary? Entahlah, kita tidak
yakin. Kita mulai menghitung. Satu, dua, tiga… Mary sudah tak kembali dalam
seminggu. Anehnya, Jack tak pernah mencarinya. Dia justru menangis tak
henti-henti. Aku makin kecewa dengan Jack. Setelah sepatu, kini Mary.
Berhentilah menghindar. Hadapilah. Inilah hidup. Kita pun meneriaki Jack: Cari
dia, seseorang telah menculiknya! Namun dia tak menghiraukan kita. Jack dan
Jane hanya menangis, entah mengapa, dan untuk apa. Apa yang terjadi, Jack?
Mengapa kamu menangis? Mengapa hanya menangis?
Jack berubah. Kini dia sering pulang larut,
dalam keadaan mabuk, dan akhirnya mengamuk. Dia akan menghancurkan
barang-barang di meja. Gelas-gelas, piring-piring, botol bir yang dibawanya,
adalah korban kemarahan Jack. Sementara Jane mengurung diri di kamarnya. Suatu
kali dia melempar gelas, dan mengenai kita. Dia menghampiri kita lalu kembali
menangis.
“Maafkan aku, maafkan aku.”
“Mary, oh Mary, Papa telah melukai boneka
kesayanganmu.”
Besok malamnya Jack membawa kita dan Jane ke
sebuah restoran. Jalanan dipenuhi salju dan pendar lampu. Kita ingat Mary
pernah mengajari kita makan malam dan tata caranya. Kita duduk tegak di antara
Jack dan Jane, bersandar pada vas bunga.
“Jane, aku ingin membuat toko boneka.”
Jane berhenti mengunyah dan menatap Jack. “Toko
boneka? Untuk apa?”
“Untuk Mary, Jane, untuk Mary….”
Jane hanya tersenyum dengan mata berair.
Beberapa minggu kemudian kita pindah, ke kehidupan kita ini.
Di sini kita memiliki banyak teman. Beruang,
anjing, juga kelinci gemuk. Jack menjejerkan kita semua di lemari. Tetapi kamu
tak menemukan mereka yang sama sepertimu, begitu pun aku. Kamu menunggu dan
terus menunggu. Aku telah seumur hidup menunggu. Kamu kesepian dan butuh teman
yang sepadan. Setiap malam, ketika yang lain berpesta, kamu menyendiri di depan
kaca raksasa, menatap bulan, sementara aku berdiri di depan cermin, menatap
diriku sendiri.
Suatu hari seorang gadis dan perempuan yang kita
kira adalah ibunya datang ke tempat ini. Dia membawa selebaran yang bergambar
seseorang yang sepertimu!
“Maaf, gadis kecil, kami tidak menjual Barbie,”
kata Jack, setelah melihat selebaran itu.
“Lalu apa itu,” kata ibu si gadis, menunjuk
kepadamu. Aku bisa merasakan kamu terlonjak di tempatmu. Mungkin sudah waktunya
kamu mendapatkan Mary lain. Entah mengapa aku mendadak merasa sedih.
“Itu beda, Madam. Namanya Lilli. Bild Lilli.
Model lama. Mungkin Anda pernah dengar.”
“Tak masalah. Kami mau Lilli itu.”
“Itu tidak dijual.”
“Kenapa?”
“Itu milik anak saya.”
“Lalu, mengapa ditaruh di lemari, kalau begitu?
Berapa umur anak Anda sekarang?”
Kamu sangat bersemangat tetapi ternyata mereka
tak membawamu hari itu. Tidak juga besok. Atau lusa. Kamu kembali sedih. Apa
tidak ada yang menginginkanku, rintihmu, aku rindu Mary. Aku rindu Mary. Andai
saja dia ada di sini.
Aku juga, pikirku. Andai saja dia ada di sini.
Kita berusaha melupakan kejadian itu dan
melanjutkan hidup kita. Seiring waktu, Jack mulai sering menggunakan tongkat,
kemudian berakhir setiap saat. Tetapi dia tidak lagi menari dan mengeluarkan
merpati dari dalam topi. Dia hanya berjalan tertatih-tatih dari satu sisi ke
sisi lain tempat ini, memegang sapu debu, membersihkan kita dan semua
teman-teman kita. Rambutnya memutih, tubuhnya membungkuk. Jane mengunjunginya
setiap rehat siang. Kadang mereka mengajak kita berdua makan bersama di ruangan
belakang. Mereka makan sambil tertawa-tawa dan saling berkata, aku mencintaimu,
sangat mencintaimu—kebiasaan yang akhirnya menular kepada kita.
Pada sebuah musim dingin, Jane mulai jarang
membawakan makan siang dan akhirnya tak pernah terlihat lagi.
Hal itu membuatku sangat sedih. Kita ada di
sana, menjadi penggemar rahasia Jack, merekam seluruh kehidupannya, tetapi
sesungguhnya tak tahu apa yang sedang terjadi.
“Kurasa Jane sudah kembali bersama dengan Mary,”
bisikmu di telingaku, seolah tahu apa yang kupikirkan. Kata-katamu itu
membuatku tenang.
Kini kita memiliki kehidupan yang lebih ceria
dengan Jack. Dia tak pernah lupa mengunjungi tempat ini yang dia ubah namanya
menjadi “Toko Mainan Mary & Jane”. Dia memindahkan kita ke hadapan kaca
raksasa, seolah tahu keinginan kita. Kita melihat matahari terbit dan terbenam,
orang-orang lalu lalang, juga bintang-bintang. Suara benturan tongkat Jack pada
lantai memenuhi hidup kita. Dia bahkan mulai mengajak kita bicara. “Sebentar
lagi aku akan pergi, menyusul Jane dan Mary.”
“Semoga kita bertemu di kehidupan selanjutnya
ya.”
Kemudian Jack mencium masing-masing kita, untuk
pertama kali. Dia tampak sangat bahagia. Pastilah dia baru saja mengatakan
sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Kita terharu. Semenjak itu setiap sore, tepat
setelah Jack membereskan tempat ini dan pergi, kita mulai menunggunya datang
kembali.
Selama ini, Jack tak memahami kita dan kita tak
memahami dia. Tetapi di antara aku, kau, dan Jack, selalu ada “Kita”.
“Aku kasihan pada toko ini,” kata seorang lelaki
sayup-sayup, suaranya masuk melalui sela-sela pintu. Malam ini, hanya terlihat
tiga bintang.
“Kenapa?”
“Pemiliknya baru meninggal, pagi tadi.”
“Hah? Kamu serius?”
“Ya. Dalam tidur. Ditemukan tukang susu yang
curiga.”
“Wah, kasihan….”
“Iya, kasihan….”
“Hei, coba lihat dua boneka di etalase.”
“Boneka Barbie dan babi itu?”
“Yep. Mereka seperti sedang menanti seseorang.”
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar