HANYA mukjizat yang membuat Bayu selamat dari musibah kecelakaan pesawat
itu. Ia yang duduk di dekat pintu darurat berhasil menyelamatkan diri ketika
pesawat yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu gagal
mendarat dan terbakar di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang.
Kecelakaan yang terjadi di sore yang dihiasi kabut tipis dan hujan itu
menewaskan 20 penumpang dan melukai puluhan lainnya.
Para petugas segera melarikan para korban
kecelakaan ke beberapa rumah sakit terdekat. Termasuk di dalamnya Bayu yang
menderita luka ringan di kaki, tangan dan wajahnya.
***
Sudah satu jam berlalu sejak breaking news mengenai pesawat yang gagal
mendarat itu muncul di portal berita maupun televisi. Gadis muda berbaju putih,
rok panjang coklat tua dan dipadu dengan kerudung coklat muda itu masih terpaku
di resto Little Asia, Pejaten Village di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan. Mal
yang selalu riuh rendah oleh pengunjung itu mendadak terasa sepi dan mati.
Rindu serasa tidak percaya kejadian tersebut.
Beberapa jam lalu dia datang ke resto tersebut untuk bertemu dengan Pak Bayu.
Lelaki setengah baya yang tanpa disadarinya selama bertahun-tahun mengisi
relung batinnya.
Jangan pernah tanyakan kapan perasaan indah itu
membelai lembut hatinya? Apakah ketika ia terpeleset dan hampir terjatuh
di depan gerbang kantor di hari pertama ia masuk kerja lima tahun silam? Ketika
itu sebuah tangan kekar menyambar tangannya, menolongnya, dan tiba-tiba ia
merasakan debaran aneh di dadanya.
Ataukah ketika ia dan Pak Bayu sama-sama
mengikuti kursus bahasa Arab di kantor tiap hari Selasa dan Rabu pagi? Ataukah,
ketika ia dan Pak Bayu rutin setiap ba’da Zhuhur menyimak kuliah tujuh menit
(kultum) di mushalla? Ataukah kenangan-kenangan lain? Perhatian-perhatian
kecilnya, yang… kini ia rasakan penuh arti?
Ia tidak mungkin membohongi hatinya sendiri.
Bagaimanapun ia adalah seorang wanita. Dengan kehalusan perasaannya, seorang
wanita pasti merasakan kalau ada seorang pria yang menaruh perhatian padanya.
Apalagi kalau perhatian itu diberikan dengan tulus ikhlas. Sebab, keikhlasan
itu pasti terasa di hati.
Namun terkadang ia ragu—atau lebih tepatnya
berusaha mengingkari perasaaan itu—semata-mata karena perbedaan usia di antara
dia dan Pak Bayu. Dengan jarak usia lebih 20 tahun, mungkinkah cinta itu
akan mewujud nyata, dan ke manakah cinta itu akan membawa hubungan mereka?
Namun kini ia tidak mungkin lagi menghindari
kebenaran di hatinya. Apalagi setelah Pak Bayu pindah ke Banjarmasin, dan
menjadi direktur sebuah perusahaan batubara di sana, ia merasakan kehilangan
yang sangat. Setahun yang lalu….
Di resto Litte Asia itulah Rindu dan Bayu
berjanji untuk bertemu. Bayu akan langsung meluncur ke Pejaten Village,
begitu dia mendarat di Soekarno-Hatta. Namun berita kecelakaan itu seakan
memupus asa yang sudah membuncah di hati Rindu….
Rindu menggigit bibir tipisnya yang selalu
kemerahan meski tanpa polesan lipstik. Air matanya menderas tanpa bisa ditahan. “Ya Allah, Engkau Yang Mahakuasa dan Maha Penolong, hamba mohon
selamatkanlah Pak Bayu. Izinkanlah hamba membahagiakannya. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar segala doa,”bisiknya lirih.
Ia mencoba menelepon Lina, sahabat dekatnya.
“Lin, pesawat Pak Bayu kecelakaan,” ujarnya
dengan suara bergetar.
“Masya Allah, Rin. Kecelakaan di mana? Maaf, aku
masih di masjid, ikut pengajian bareng Mas Indra.”
“Pesawatnya gagal mendarat di Soekarno-Hatta.
Dikhawatirkan banyak penumpangnya tewas terbakar.”
“Astaghfirullaahal azhiim. Tabah, Rin. Kita
doakan, semoga Pak Bayu selamat.”
“Kamu sekarang di mana?” tanya Lina.
“Aku masih di Pejaten Village. Semula aku dan
Pak Bayu janjian ketemu di Little Asia.”
“Tunggu aku di situ, Rin. Nanti aku minta izin
suamiku untuk menjemputmu dan menemanimu. Kita cari informasi
bersama-sama.”
***
Tengah malam, saat terjaga, Bayu teringat
HP-nya. Sesaat sebelum pesawat tinggal landas di Bandara Syamsoeddin Noor, HP
tersebut dia matikan. Dia minta perawat untuk mengambilkan HP tersebut.
Begitu HP itu diaktifkan, ternyata ada miss call 33 kali dari nomor Rindu.
Juga banyak sekali SMS. Sebagian besar berasal dari Rindu. “Ass, Pak Bayu,
semoga Pak Bayu selamat.” “Ass, Pak Bayu, Bapak di mana?” “Ass, Pak Bayu,
saya mencintai dan merindukan Bapak.”
Menitik air mata Bayu membaca SMS dari Rindu.
Gadis berusia 27 tahun itu mempunyai nama dan sifat yang santun dan anggun sama
seperti almarhumah istrinya. Justru karena kesamaan itulah ia tidak berani
mencintai gadis bermata teduh itu. Ia takut dibilang egois.
Namun ternyata perasaan cinta itu tidak bisa
hilang dari dalam hatinya. Malah semakin lama, semakin kuat dan melekat.
Akhirnya ia mencoba melakukan pembenaran untuk mengusir perasaan cinta itu
dengan menyadarkan dirinya bahwa dia sudah berusia 47 tahun, sementara Rindu
baru 27 tahun: sehingga dia tidak pantas berharap untuk mencintai dan dicintai
gadis asal Bandung itu. Namun ternyata gadis tinggi semampai itu
meng-KO-nya dengan sebuah kalimat pendek, “Bapak berhak berharap dan Bapak punya
kesempatan.”
***
Rindu dan Lina berjaga setiap saat di depan
pesawat televisi untuk mendengarkan informasi terkini mengenai kecelakaan
pesawat tersebut. Keduanya juga memantau lewat portal berita. Namun belum ada
kejelasan berita mengenai nasib Pak Bayu.
Pukul 03.00, Rindu mengambil wudhu kemudian
shalat Hajat, Tahajud dan Witir. Air matanya mengalir tiada henti. Di hadapan
Rabb-nya yang Mahagagah Perkasa, di waktu ketika semua doa didengarkan dan
dikabulkan oleh Allah Sang Pemilik Semesta, bibirnya tak henti-hentinya
berbisik lirih, “Ya Allah, selamatkanlah Pak Bayu. Selamatkanlah Pak Bayu.
Selamatkanlah lelaki yang kucintai….”
Pukul 04.00, tiba-tiba HP Rindu berbunyi. Lina
yang pertama kali melihat nomor yang masuk di HP tersebut.
“Pak Bayu, Rin, Pak Bayu yang menelepon,” seru
Lina.
Tanpa sadar Rindu meloncat dari atas sajadahnya.
Dia segera mengangkat HP tersebut.
“Pak Bayu? Pak Bayu di mana? Bapak selamat
‘kan?” dia mencecar Bayu dengan pertanyaan.
“Assalaamu’alaikum, Rindu,” terdengar suara
lembut di seberang sana.
“Wa’alaikumsalaam. Maaf, Pak. Saya sampai lupa
mengucapkan salam. Saya sangat mengkhawatirkan keselamatan Bapak.”
“Alhamdulillah, Rin, berkat doamu, saya selamat.
Cuma terluka dan memar sedikit. Ini buktinya sekarang bisa menelepon kamu.”
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau
dengar dan kabulkan doaku, Engkau selamatkan Pak Bayu,” ujar Rindu dengan suara
bergetar menahan haru.
“Terima kasih, Rin. Semoga Allah membalas segala
kebaikan hatimu.”
“Pak Bayu sekarang di mana?” Tak sabar Rindu
bertanya.
“Saya dirawat di rumah sakit,” ujar Bayu sambil
menyebut nama sebuah rumah sakit di Jakarta Barat.
“Saya ke sana sekarang, Pak.”
“Nanti saja, Rin, tunggu hari siang.”
“Tidak, Pak, saya mau ke sana sekarang. Saya
ingin memastikan bahwa Bapak selamat,” suara Rindu seperti tercekat menahan
emosi.
“Terima kasih, Sayang… eh maaf.”
Rindu tersipu dan wajahnya mendadak merona merah
mendengar kalimat Bayu yang terakhir.
***
Rindu dan Lina naik taksi. Menjelang akhir malam
itu, lalu lintas ibukota masih relatif sepi. Hanya butuh waktu setengah
jam bagi keduanya untuk tiba di RS tersebut.
Rindu langsung menghambur ke ruang UGD. Ternyata
Bayu sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kelas satu.
Ia mengetuk pintu tersebut, dan dengan tak sabar
langsung masuk. Lina menyejajarinya di belakang sambil terengah-engah.
“Pak Bayu?” seru Rindu begitu melihat sosok
lelaki tersebut.
Bayu menyambut kedatangan Rindu dengan sebuah
senyuman.
“Rindu,” suaranya tiba-tiba tercekat di
tenggorokan. Gadis yang selama bertahun-tahun membalut hatinya itu betul-betul
menjelma nyata di hadapannya. Air matanya menitik. “Ya Allah, Engkau kirimkan
bidadari surga ini kepadaku. Kalimat syukur apakah yang pantas aku lantunkan
kepada-Mu?” ujarnya dalam hati.
Bayu berusaha bangkit dari pembaringan. Namun
tangan dan kakinya terasa sakit. Ia meringis.
“Bapak jangan banyak bergerak dulu. Bapak
istirahat saja,” betapa lembut suara Rindu di telinga Bayu. Seperti nafiri
surga membelai jiwa.
“Terima kasih atas kedatanganmu, Rin. Juga Lina,
terima kasih mau bersusah payah malam-malam datang ke rumah sakit.”
“Iya, Pak. Soalnya ada seorang gadis yang dari
tadi malam sangat gelisah dan mengkhawatirkan keselamatan Bapak. Dia sudah
enggak sabaran ingin ketemu Bapak,” kata Lina sambil melirik ke arah Rindu.
Yang dilirik mencubit tangan sahabatnya itu.
“Jangan bikin malu aku dong, Lin,” kata Rindu
setengah berbisik.
Betapa banyak yang ingin Rindu ungkapkan kepada
Pak Bayu. Namun dadanya begitu sarat oleh rasa bahagia. Biarlah mata
kedua insan itu yang bicara. Bukankah cahaya mata seringkali lebih fasih
menyampaikan isi jiwa kita?
Rindu dan Lina shalat Shubuh di mushalla yang
berada di samping rumah sakit. Seusai shalat, Rindu sujud syukur.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas segala pertolongan-Mu. Engkau
selamatkan Pak Bayu.”
Setelah itu ia bergegas ke kamar perawatan
Bayu.
“Sudah selesai shalat Shubuhnya?”
“Sudah, Pak.”
“Kok cepat sekali? Biasanya kamu kalau selesai
shalat, berdoanya lama?”
Ada damai menyusup di dada Rindu. “Subhanallah,
Pak Bayu masih ingat hal tersebut. Ya Allah, betapa dia selama ini selalu
memperhatikan saya,”ujarnya dalam hati. Tanpa disadarinya, bibirnya mengukir
senyum.
“Kok senyum?”
Rindu tersadar. “A…pa, Pak?”
“Kok kamu senyum?”
“Ah enggak apa-apa, Pak.”
Bayu menghela napas panjang.
“Rin, saya punya satu permintaan,” kata
Bayu.
Rindu tertegun. “Permintaan apa, Pak?”
“Maukah engkau membisikkan di telingaku kalimat
‘Mas Bayu’?”
Rindu terkejut dan tergagap.
“Sa… sa… saya?”
“Mau enggak?”
Rindu melirik Lina yang tersipu, dan kemudian
menoleh ke samping.
“Rin….”
“Pak Bayu… eh maksud saya, Mas Bayu….”
“Ulangi, Rin…”
“Mas Bayu.”
Rindu tersenyum dengan senyum terindah yang
pernah disaksikan oleh Bayu selama hidupnya.
“Terima kasih, Rin.” Bayu begitu ingin
menggenggam jemari lentik gadis yang selalu tampil anggun dengan jilbabnya itu.
Namun ia sadar, gadis salehah itu belum halal baginya.
Di luar, gelap telah beranjak pulang. Matahari
pagi datang bersama bunga-bunga cinta yang merekah di dada Rindu. (*)
.
Catatan penulis:
Cerpen ini merupakan sekuel cerpen “Bulir-bulir
Rindu” (Republika, 1 Juni
2012). Judul “Bunga-bunga Cinta” berasal dari usulan Mbak Wahidah, redaktur Islam Digest (redaktur Sastra)
Republika. Insya Allah cerpen ini masih ada lanjutannya, yakni “Sepanjang Jalan
Cinta” dan satu cerpen lagi yang judulnya masih dicari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar