MATA lelaki
tua itu menerawang. Hening bola matanya seolah sedang menyaksikan sebuah
diorama yang membentang merelief hingga ke ujung pandangan. Diorama yang begitu
memilukan, meski juga yang begitu sarat dengan sanjung puji terhadap sebentuk
kesetiaan. Sesuatu yang sudah teramat langka untuk ditemukan pada saat ini. Di
sampingnya, seorang bocah laki-laki kurus berbaring bersamanya di pelupuh
bambu, dipan usang yang ada di petak ruangan itu. Mat Hasan menghela napas.
Suaranya pecah dalam kebisuan malam.
“Cerita ini sudah seringkali kau dengar.”
“Tapi aku mau mendengarkannya lagi, Cang.”
“Kau tidak bosan?”
Lelaki kecil menggeleng.
“Lalu, kau harus tidur sesudahnya.” Mat Hasan
mengelus kepala si bocah.
Bocah kecil itu mengangguk. Memiringkan badan
sambil bertelekan di atas bantal kapuk yang apek dan berminyak. Sarung
bantalnya jarang dicuci. Di luar angin malam masih mencumbui penjuru kota
dengan kesiur dinginnya. Lembab bersama gerimis yang sebentar datang.
***
KESUNYIAN berlalu
beriringan bersama hembusan angin. Melewati lorong-lorong waktu bersama sejarah
yang tak bisa diputar kembali. Langkahnya mengalun, menggumamkan kidung-kidung
penantian. Perih. Laksana balada yang menguak luka. Begitu terus. Selalu bagi
perempuan itu.
Nyaris setengah abad dia menatapi potret itu.
Menunggu, menepikan sejumput kenangannya di butir-butir pasir yang basah.
Kadang dia berdiri di tepian Bandar Jakarta, menghirup aroma hangat laut yang
menggelayutkan impiannya. Kadang pula duduk di bebatuan di sudut jingga pantai
menyaksikan deburan ombak menggulung, mengempas pantai, menabrak karang-karang
kecil, mengikis pasir dan bergulung kembali, berlalu menjauh seraya menarik
serpihan hatinya.
Rukayah, perempuan tua itu setia menemani
camar-camar datang dan pergi di atas biru laut. Setia seperti cara dia
berpakaian. Berkebaya model lama yang selalu berbau cendana. Tak mempan tergoda
rayuan zaman dengan berbagai ragam model dan bentuk pembalut kulit. Masih
seperti puluhan tahun lalu jua. Tatkala kain batiknya tampil cemerlang
membungkus tubuh sintalnya. Kini, hanya lunglai yang menerpa persendian, hanya
kulit yang mengerut. Hanya rambut yang menipis, memerak lekang melawan
perubahan meski tetap dikonde cepol. Keunikan yang sungguh tampak aneh di masa
sekarang.
Keyakinannya begitu lekat, tidak berubah sedikit
jua. Janseen akan menghampirinya dari seberang laut itu sembari membawa seikat
bunga tulip yang dipesannya. Namun hari ini mulai melarut dalam kegelapan,
memaksa perempuan itu beranjak tertatih dan sejenak melepaskan angan-angannya.
Dia harus pulang dan mengumpulkan tenaga lagi supaya esok bisa tetap menanti
separuh hatinya di tepi pantai yang telah mereka sepakati.
Lazuardi Jakarta perlahan menghitam didekap
malam. Kerlip lampu mercusuar ditingkah lampu perahu nelayan mirip rombongan
kunang-kunang. Dan di atas angkasa sana, sepotong bulan menyembul malu-malu,
nyaris tidak terlihat lantaran tersaput pendar cahaya lampu kota.
“Dari pantai, Mpok?” sapa seorang
pedagang gorengan keliling di depan gang rumah Rukayah. Seorang laki-laki setua
Rukayah. Pikulan gorengan diletakkan di ujung gang, menanti pembeli
menghampiri.
“Iye,” jawab Rukayah ringkas. “Ente baru
mangkal, San?” Rukayah balik bertanya.
“Sepuluh menit yang lewat. Tumben sepi malam
ini.” Laki-laki yang disapa Rukayah membetulkan dingklik tempat dia duduk. Mat
Hasan, tetangga Rukayah itu mengambil secarik kertas pembungkus, menaruh ubi
dan pisang goreng beberapa butir di dalamnya, lantas menyodorkan ke Rukayah. “Ini,
untuk cemilan,” ujar Mat Hasan.
“Terima kasih, San. Ente selalu aja
baek.” Rukayah mengangsurkan tangannya, menerima pemberian Mat Hasan.
Gemetar. Refleksnya telah jauh berkurang. Lantas dengan langkah perlahan
Rukayah memasuki gang sempit yang hanya cukup dilewati satu mobil itu menuju
rumahnya. Mat Hasan mengamatinya sejenak, lantas menggeleng-gelengkan kepala.
“Kasihan,” gumam Mat Hasan perlahan. “Sudah
hilang ingatan, barangkali.” Mat Hasan termangu. Sejurus, Mat Hasan kembali
sibuk, tangannya membolak-balik gorengan dengan capitan besi sembari menanti
pembeli. Sesekali capitan itu dipukulkan ke pinggiran wajan. Suaranya nyaring
memendar ke penjuru kampung.
***
RUMAH Rukayah
terletak di ujung gang. Sebuah rumah tua bergaya Betawi yang halamannya tertata
rapi. Ada pohon asam besar tumbuh di halaman samping rumah itu. Jika siang
hari, anak-anak ramai bermain sembari memunguti buah asam matang yang
berjatuhan. Kadangkala, anak-anak melompat-lompat menggapai buah asam yang
masih bergelantungan di ranting, memanjat batang pohon atau menyodoknya dengan
galah. Rukayah tak pernah melarangnya. Sayang juga kalau dibiarkan, bisa
membusuk berjatuhan di tanah. Tertindas bersama daun-daunnya yang kecil
melimpah. Kadangkala juga, ibu-ibu tetangga meminta sedikit untuk membuat sayur
asam. Rukayah tak mau nyinyir dan pelit seperti Bu Haji yang kebunnya tepat
berseberangan dengan rumah Rukayah. Kebun yang meski telantar, tetap tak boleh
diinjak siapa pun. Buah-buah nangka yang masak sampai berjatuhan karena tak ada
yang berani mengusiknya. Membusuk sia-sia.
Rukayah membuka pintu rumahnya, menyalakan lampu
dan duduk sejenak di balai-balai sembari mengunyah pisang goreng hangat
pemberian Mat Hasan. Kebetulan dia tidak sempat memasak nasi, hanya ada nasi
pagi yang sudah dingin. Dan rasanya, nafsu makannya sedikit hilang. Terlampau
penat sebab setiap hari setelah dia berjualan bunga-bunga di dekat sebuah
pemakaman, sorenya Rukayah akan melangkah ke pantai. Sebuah rutinitas yang
telah puluhan tahun dijalaninya. Sendiri, semenjak Janseen pulang ke negara
asalnya di Negeri Kincir Angin sana. Janseen berjanji akan menjemputnya dan
membawakan rangkaian bunga tulip untuk Rukayah. Itu yang dikatakannya lewat
sahabatnya, Pieter Koch.
Biasanya, dulu jika malam menjelang, mereka berdua
kerap berjalan-jalan menyusuri tepian pantai. Memperbincangkan harapan-harapan
yang ruah menyesak. Bergandengan tangan, dan sesekali Janseen mengusap rambut
panjangnya. Rambut yang memiliki warna eksotis, seperti juga kulitnya yang
halus dan cokelat menawan. Atau di lain waktu, mereka mendatangi gedung-gedung
kesenian. Sekadar menonton stambul atau pentas gambang kromong. Ah, sungguh
masa-masa yang tiada terulang, batin Rukayah. Dan mereka pun akan menaiki
sepeda Janseen. Melenggang di jalanan kota, menyisiri keremangan malam sampai
di depan Stadhuis [1].
Rukayah selalu mengagumi bangunan-bangunan yang
berdiri kokoh tinggi dengan pilar-pilarnya yang besar. Keangkuhan gedung itu,
begitu menarik-narik keingintahuannya untuk memasuki tiap sudut ruangan. Meski
dia sangat ngeri dengan riwayat sadis yang pernah menyelimuti tempat itu. Dan
akhirnya, mereka memang hanya menyambangi pelataran gedung.
Jika Janseen mendapat libur dari kerjanya yang
memusingkan, merancang gedung-gedung baru, mereka akan naik kereta. Mengunjungi
daerah selatan Batavia yang sejuk. Memandangi hijaunya areal persawahan.
Mengangankan tinggal di sana bersama sapi-sapi yang akan mereka pelihara. Sapi
yang akan diperah dan diminum susunya tiap mereka bangun di pagi hari. Janseen
sangat menyukai daerah selatan Batavia lantaran hawanya yang sejuk dan
nuansanya yang mirip kampung halamannya. Dipenuhi tanah-tanah pertanian.
Seperti juga tempat dia dilahirkan di sebuah tanah pertanian di Kraailand.
***
RUKAYAH tergopoh-gopoh
menyiapkan bunga-bunga untuk taburan makam. Serombongan keluarga mengunjungi
pemakaman dengan menaiki beberapa mobil mewah. Serombongan orang yang
berpakaian hitam, berbadan tinggi besar dan berkulit putih kemerahan. Seperti
kulit Janseen, batin Rukayah.
Mereka menahan langkah sejenak, menatap Rukayah,
dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Rukayah. Samar-samar
bahasa itu terdengar akrab di telinga Rukayah. Salah satu dari mereka, seorang
wanita cantik berhidung bangir, berkerudung sekadarnya dan berkaca mata hitam
menghampirinya dan berkata patah-patah.
“Boleh beli… bunga?” ucap wanita itu. Rukayah
mengangguk dan segera menyiapkan sekeranjang kecil racikan kembang setaman,
lalu mengangsurkannya dan berkata, “Sepuluh rebu rupiah.”
Si wanita menerima bunga dan membuka dompetnya.
Lalu menyerahkan selembar uang seratus ribu. Rukayah terpaksa menarik kuncang
penyimpanan uangnya dari balik stagen untuk mengambil kembalian. Lantaran
gemetar tangannya yang terburu-buru, dia tidak menyadari sepotong kertas
terjatuh dari lipatan kuncangnya. Selembar potret lusuh.
“Apa… itu?” ujar si wanita cantik sembari
menerima kembalian. Dia lantas membungkuk untuk mengambil kertas yang terjatuh.
Kertas film usang yang kekuning-kuningan dimakan usia. Namun gambar yang
tercetak masih sangat jelas. Potret laki-laki muda yang rapi. Bergaya di
beranda sebuah rumah. Kali ini, wanita itu terkejut. Seperti melihat hantu.
Potret terhambur lepas dari tangannya. Nyaris saja keranjang bunga ikut
terjatuh.
Beberapa rekannya yang mengamati kejadian itu,
serta merta menghampiri si wanita sembari bertanya-tanya. Wanita itu menunjuk
potret yang kini sudah tergenggam kembali di tangan Rukayah. Rukayah bengong.
Apa yang salah? Apa yang keliru? Tatkala dia hendak memasukkan kembali potret
itu ke lipatan kainnya, seorang laki-laki yang tua, setua dirinya, bergerak
cepat menyambar potret itu. Gilirannya kini terbelalak.
“Dari mana dapat potret ini?” tanya laki-laki
itu menyelidik.
“Itu, punya saya Mister. Itu potret Meneer
Janseen, dia yang kasih saya buat disimpan.” Rukayah menjawab dengan
kebingungan yang menyeruak. Mengapa hanya karena selembar potret, rombongan
peziarah itu menjadi gaduh.
“Siapa… nama?”
“Saya Rukayah, Mister.”
“Rukayah… Rukayah, ha Rukayah!” Terdengar
gemuruh orang-orang itu menyebut nama Rukayah. Mereka berpandangan dan
berbicara kembali dalam bahasa mereka. Seorang lagi mendekati Rukayah dan
mengangsurkan selembar potret usang ke arahnya. Kali ini Rukayah yang
terbelalak. Potret dirinya! Puluhan tahun silam diberikan kepada Janseen. Masih
ada beberapa potret yang sama yang disimpannya di rumah. Dia dan Janseen
membuat dan mencetakfoto-foto itu di sebuah studio foto di Molenvliet
Straat [2].
Sepenggalah waktu, rombongan itu memaksa Rukayah
mengikuti mereka memasuki kompleks pemakaman. Rindang pepohonan kamboja
menaungi pusara-pusara. Aroma kesunyian menyergap. Angin semilir menebarkan bau
mistis pekuburan. Dan langkah Rukayah yang terseok-seok seperti dibelokkan
angin menuju sebuah pusara tua yang tiada terawat.
Setelah mencari-cari, rombongan peziarah asing
itu tiba di sebuah pusara yang dikelilingi rerimbunan ilalang dan rerumputan
yang berbunga meliar menutupi nisan. Perlahan, beberapa orang menyibakkan
dedaunan yang menghumus. Setelah beberapa kali mengusap nisan, tampak tertatah
sederet tulisan yang mengguncang perasaan Rukayah. Dia tahu bunyi tulisan itu,
dia tidak buta huruf. Janseen mengajarinya membaca huruf Latin.
Langit berputar dalam keterkejutan, bumi
bergetar dalam kegamangan dan pepohonan bergoyang bimbang. Udara terasa sempit.
Bergumpal-gumpal kerinduan yang menyesak di dada Rukayah terpecah mengiringi
tubuh tua itu roboh menelungkup di atas pusara. Rukayah melolong. Orang-orang
memandanginya.
Perlahan suara Rukayah mereda menjadi isak
tangis sampai kesadarannya lenyap. Rukayah limbung di atas pusara. Pusara
kekasihnya yang tiada terjaga. Dia pingsan.
***
RUKAYAH siuman
dan mendapati dirinya terbaring di kasur empuk dalam sebuah ruangan berdinding
putih bersih. Udara dingin menguar dari alat penyejuk ruangan. Dingin. Seperti
dinginnya udara Jakarta di malam hari yang dahulu kerap dilaluinya bersama
Janseen. Rukayah tersadar di sebuah kamar hotel mewah, dikelilingi orang-orang
yang dijumpainya di pemakaman. Agaknya menginap di situ.
Bertuturlah seorang dari rombongan itu. Janseen
yang Rukayah kenal adalah sepupu mereka yang dahulu ditunggu kedatangannya
kembali di Kraailand. Namun, hanya sepucuk surat yang tiba berikut selembar
foto perempuan Betawi. Rukayah namanya. Janseen memperkenalkan perempuan itu
sebagai calon buyut dari para cicitnya kelak.
Dua purnama lagi, tulis Janseen, ia akan naik
kapal. Pulang membawa Rukayah untuk diperkenalkan kepada keluarganya.
Kenyataannya, Janseen tak pernah datang, tak pernah membawa perempuan itu ke
kampung halamannya. Sepucuk kawat dikirim oleh sahabat Janseen yang bertugas di
Angkatan Laut Kerajaan, Pieter Koch. Sebuah trem telah memupus semua impian
lelaki muda itu di jalanan Batavia.
Kebohongan kecil Pieter, telah menjadikan kisah
hidup Rukayah berbeda. Rukayah meyakini cerita Pieter tentang kepergian Janseen
yang lebih dahulu dari rencananya tanpa sempat mengajaknya sebab sebuah urusan
penting. Janseen hanya berjanji akan membawa seikat tulip untuk Rukayah. Pieter
tak memberitahukan kabar sesungguhnya. Ia tak tega. Bahkan angin pun tak kuasa
membisikkan elegi itu. Dedaunan dan ilalang enggan menggemerisikkan kabar
nestapa. Sampai akhirnya Pieter juga kembali ke negerinya di masa genting, saat
semua warga asing harus meninggalkan Indonesia. Diam-diam Pieter berharap,
Rukayah akan melupakan Janseen dan menemukan lelaki lain, menganggap Janseen
sebagai lelaki gombal yang ingkar janji.
Namun Rukayah tetap dalam penantiannya.
Demi janji yang telah terucap, Rukayah setia
menanti di tepian Bandar Batavia. Tegak bergeming laksana nyiur. Dari mulai
perahu nelayan yang berlalu lalang, hingga kapal-kapal dagang yang perkasa di
lautan, Rukayah menghitung tiap senja. Terus menghitung bersama nuansa Batavia
yang baru, Jakarta.
“Maafkan Janseen, Rukayah,” ucap seorang kerabat
Janseen.
Rukayah mengangguk perlahan. Impiannya kini
benar-benar pupus. Begitu terlambat untuk mengetahuinya. Sampai-sampai tak
perlu lagi air mata diuraikan. Rukayah tabah. Baginya, kenangan bersama Janseen
telah memberikan kekuatan mahadahsyat sedemikian lamanya dalam menghadapi
cibiran dan menjalani perputaran roda kehidupan. Rukayah memutuskan akan tetap
begitu hingga dia menyusul ke alam baka.Menjumpai Janseen di kehidupan kedua,
melanjutkan perjanjian mereka di dunia.
Rombongan kerabat Janseen menawari Rukayah untuk
ikut dan tinggal di Negeri Kincir Angin. Tetapi perempuan itu menolak dengan
halus. Dia hanya minta dikirimi seikat bunga tulip.
Tatkala kiriman bunga itu tiba, layu dalam
perjalanan, perempuan tua itu meletakkan sebagian di atas pusara Janseen.
Sebagian lagi dia simpan menjadi potpouri dalam sebuah kotak
kayu berlapis kain beludru merah. Potret lusuh Janseen ikut disimpan di kotak
itu, menjadi sebuah memoir yang tak berwaris. Harta berharga Rukayah yang tidak
lagi tersimpan di stagennya lantaran penantian itu ternyata fatamorgana.
***
TIAP senja,
Rukayah tidak terlihat lagi berdiri di tepian laut. Pantai mulai merindukannya,
karena perempuan itu tidak lagi menemani camar-camar yang riuh melayang di atas
biru laut yang dengan cepat menjadi keruh. Dan pantai mulai tak sabar serta
mengutuk perempuan tua itu. Atau justru pantai jengah dengan kesetiaan Rukayah
dan meratapinya bersama sampah-sampah yang ikut terserak.
Seharian penuh Rukayah akan berada di pemakaman.
Menanti para peziarah membeli bunga dagangannya. Dan kini, Rukayah menjalankan
rutinitas baru. Membersihkan makam Janseen. Menaburinya dengan segenggam melati
putih, bunga yang dulu dipuja Janseen sebagai hiasan konde cepolnya.
Setelah
membersihkan dedaunan yang berguguran di atas pusara, Rukayah pulang saat
langit di ufuk barat menjingga. Terlebih dahulu dia menyelimutkan seutas
selendangnya di atas pusara hingga menutupi nisan. Dan kemudian perlahan, malam
datang mengendap, merapatkan jubah kelamnya mendekap pusara dari hiruk pikuk
Jakarta serta mengakhiri satu cerita hari itu.
***
“BAGAIMANA dengan
nasib Rukayah selanjutnya, Cang?” anak kecil itu bertanya. Mat
Hasan memandang cucu buyutnya dengan tenang. Anak kecil itu gelisah menanti
cerita selanjutnya yang masih mengambang. “Apa dia masih hidup? Encang tak
pernah mau menceritakan kelanjutannya,” tanya cucunya lagi.
Mat Hasan menggeleng. Hatinya perih. Dia berkali
meminang perempuan itu namun berkali pula ditolak. Sampai akhirnya, seorang
perempuan lain mengisi ceruk hatinya.
Suatu saat perempuan itu tertelungkup di atas
pusara kekasihnya sampai berhari-hari. Tak ada yang mengetahuinya, meski
burung-burung gagak ramai berkaok. Ah, burung gagak di atas pekuburan, hal yang
biasa, pikir orang-orang. Namun ketika penjaga makam yang jarang-jarang muncul,
sedang kebetulan datang, datang ketika musim ziarah menjelang puasa tiba,
barulah ketahuan nasib perempuan itu. (*)
Catatan:
[1] Stadhuis : Balaikota
[2] Molenvliet Straat : Jalan
Molenvliet, sekarang Jalan Gajah Mada di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar