AKULAH ketika kau mencinta. Akulah
ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi
terang. Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam
hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi
kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta
dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak.
Seperti keputusan yang
akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku
kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan,
kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut
syarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu.
Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah,
lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke
syaraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak.
Aku menggerakkanmu. Meski
selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi
sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena
kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu
karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu
sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang
menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu.
Aku melihatmu tapi kamu
belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu
nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang
bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu
menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada
pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak,
setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara,
setiap kecapan rasa.
Keberadaanku sebenarnya
tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh
penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa seringkali menimbulkan salah
tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh
saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan.
Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang
tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah
keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena
tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya
menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan
bersahabat denganku?
Sudah kubilang, aku adalah
ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama,
kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti
akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa
menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan
terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang
berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering
memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga
kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus
bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku.
Aku adalah tumbuh. Juga
tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya,
aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang
kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku
menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan
kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan.
Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru
keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup,
dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak
kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan
masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka
terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku?
Aku sebenarnya tak
membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat
buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas
untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan
jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu.
Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu.
Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau
kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski
hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu.
Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu
tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit,
kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara
menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu
juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang
peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti
itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa
penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu
akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si
peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan
untukmu.
Kadang memang butuh proses
untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu,
sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh
dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya
kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau
bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala
jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku
selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu.
Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku.
Aku adalah ketuntasan. Aku
adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku,
utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu
hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum
mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan
pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada
pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata
sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu
menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa
menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun.
Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam
rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu.
Aku tak membeda-bedakan
siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui
keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian
tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta.
Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam
bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan
minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun
cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan
tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau
menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala
sumber; pikiranmu, kreasimu, napasmu, denyut jantungmu.
Aku ada di dalam aku juga
ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang
terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di
malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut
dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa
menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap
kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap
kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan
selalu ada karena aku adalah aku.
Seorang anak kecil bertanya
kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk
dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap
denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh
tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu.
Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup
pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah
mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku.
Sungguh sangat mudah untuk
kita saling bertemu, saling melihat, dan saling memahami. Meskipun aku
begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak
terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai
kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku. (*)