Anak yang baik adalah anak yang dapat memelihara hati ibunya.
.
Alun-alun Surga
Seorang wanita. Seorang ibu.
Melahirkan. Membesarkan. Merawat. Apa yang sebenarnya ia lakukan kepada
anaknya? Begini. Seorang anak. Anak satu-satunya. Anak perempuan. Anak manis.
Gadis periang. Bermain dengan teman-teman. Sebayanya. Semua laki-laki. Ibu
khawatir. Kita akan pindah, Nak. Anak mengangguk. Ah, anak yang baik. Kau tak
takut kehilangan teman-teman? Anak menggeleng. Ah, anak yang baik. Mereka
pergi. Mengembara. Ke desa. Ke desa. Desa demi desa. Teman demi teman. Kebaikan
demi kebaikan. Keganjilan demi keganjilan. Kebaikan demi kebaikan. Keburukan
demi keburukan. Kebaikan demi kebaikan. Keanehan demi keanehan. Kebaikan demi
kebaikan. Stop! Kita tinggal di sini. Bermainlah. Ke alun-alun. Jumpai
teman-teman. Kau sudah beroleh pelajaran dari pengembaraan, bukan? Anak
tersenyum. Senyum yang merah. Senyum yang manis. Lalu mengangguk. Anggukan yang
melegakan. Apa, Nak? Katakanlah. Anak menyerbu. Memeluknya. Lalu terisak.
Pekebun yang baik takkan lelah membawa bibit ke mana-mana. Pada sepetak tanah.
Yang subur menyuburkan. Pekebun yang baik takkan lelah melindungi bibit. Di
bawah awan-gemawan. Yang suci mensucikan. Ibu tersenyum. Merenggangkan pelukan.
Menatap mata Anak. Mata yang celik. Mata yang berbinar. Bagai ada kunang-kunang
yang terperangkap. Di dalam matanya. Dan anak yang baik selalu percaya: Seorang
ibu takkan menyiramnya dengan air keras. Ibu menyipitkan sebelah mata. Lalu
tertawa. Anak juga tertawa. Pecah-rincah! Anak mencium punggung tangan Ibu.
Pergi. Ke alun-alun desa. Ke alun-alun surga.
.
Ibu yang Adil
Raja datang. Ibu masih berbaring.
Istirahat. Di tempat tidur. Raja mengetuk pintu. Ibu bilang: Aku lelah sekali.
Aku tahu. Ibu penasihat kerajaan. Tapi kenapa Ibu seperti melecehkan raja?
Kenapa, Nak? Kau tidak suka dengan sikap Ibu? Tidak, Bu. Ibu pasti punya alibi.
Kenapa melakukan itu. Ibu tersenyum. Dan bilang: Lihat lagi. Rupanya raja belum
puas. Diutus perdana menteri. Kali ini Ibu bangun. Membuka pintu kamar. Terkuak
setengah. Aku masih lelah, kata Ibu. Kembalilah petang nanti. Akhirnya. Diutus
seorang prajurit rendahan. Pukul lima petang. Ibu gegas bangun. Membuka pintu.
Menuruni anak tangga. Mempersilakannya masuk. Menyuruh Anak membuatkan teh. Teh
yang mahal. Teh bunga mawar. Prajurit kikuk. Prajurit menyeruput teh.
Meminumnya. Sampai habis (entah karena nikmatnya teh—entah karena gugupnya
jantung). Nah, Anakku. Setiap orang punya kedudukan. Setiap pohon punya ladang.
Setiap hidup harus seimbang. Setiap perkara harus ditimbang. Tunjukkan: Kepada
yang bergelimang hormat, ambillah sedikit kebanggaannya. Kepada yang dibelit
kehinaan, suguhkan ia kehormatan. Walaupun hanya dengan bangkit dari tempat
tidur. Membuka pintu kamar. Menuruni jenjang. Membuka pintu rumah.
Mempersilakannya duduk. Menjamunya. Di ruang tamu. Dengan secangkir teh.
.
Apakah Orang-orang Akan Menjadi
Kambing Berjamaah?
Orang-orang berkerumun. Ibu dan Anak
mendekati. Ikut berkerumun. Seorang wanita tua. Berjubah bludru. Berkerudung
ungu. Aku adalah penyanyi dari surga! Suaranya bergema. Menggetarkan.
Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia bernyanyi. Orang-orang
tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Ibu bertanya. Maaf,
Penyanyi. Penyanyi dari surga. Suara apa yang paling susah kautiru? Ibu menanti
jawaban. Orang-orang menanti jawaban. Orang-orang memeram penasaran. Suara al
Kindi dan Mencius, jawab wanita itu. Orang-orang mengangguk-angguk. Ibu bertanya.
Lagi. Wanita itu mendelik. Menantang. Lalu. Suara apa yang paling mudah ditiru?
Wanita itu diam. Lalu terkekeh. Terbahak-bahak. Sungguh. Suaranya bergema.
Menggetarkan. Meremangkan. Menciutkan. Orang-orang menunggu. Kapan ia
bernyanyi. Orang-orang tak sabar. Seperti apa nian. Suara dari surga itu. Suara
wanita itu. Ia menjawab: Suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan! Orang-orang
terperanjat. Tubuh mereka menggigil. Mereka takjub. Mereka ketakutan. Mereka
terperangkap. Tapi tidak buat Ibu dan Anak. Ibu menggamit tangan Anak. Keluar
dari kerumunan. Pergi. Meninggalkan kerumunan. Ibu, ujar Anak. Mengapa kita
berlalu. Tidakkah kita ingin membuktikan kehebatannya? Seperti apa nian
suaranya. Suara dari surga itu. Diam, Nak. Dia penipu! Bagaimana Ibu tahu? Kita
belum pernah mendengarnya. Siapa tahu dia memang hebat. Penyanyi dari surga!
Ibu menghentikan langkahnya. Menatap Anak. Belajarlah. Berkhidmatlah. Hayatilah
hidup. Bila pun ia kumandangkan suara malaikat, hantu, dan titah Tuhan, apakah
akan kauiyakan? Apakah orang-orang akan menjadi kambing berjamaah? Kalian tidak
memiliki bandingan! Anak diam. Ya, Bu. Wanita itu takkan dapat meniru al Kindi
dan Mencius. Kita hidup bersamaan dengan pandai musik jagat raya dan orang
nomor dua setelah Konfusius. Dia takkan bisa meniru. Tapi kupikir. Dia bukan
penipu, Bu. Lalu apa, Nak? Dia itu Iblis. Kau juga tahu dari mana ia datang,
bukan? Anak mengangguk. Dari neraka!
.
Jangan Pulang Hanya Karena Rindu
Lonceng. Berdentang.
Berdetang-dentang. Nyaring. Cempreng. Seorang anak. Berlari. Melewati pasar.
Lalu permukiman. Lalu kali-kali. Lalu jembatan. Jembatan-jembatan kecil. Ibu!
Seorang ibu sedang menganyam. Daun-daun pandan kering. Bersalih-silang. Membuat
terindak. Semacam caping. Pengganti payung. Ibu menoleh. Air mukanya lelah. Kau
pulang cepat? Tidak, Bu. Sekolah yang cepat kelar. Kenapa? Ada rapat. Rapat
guru. Kau berbohong? Tidak, Bu. Kau berbohong! Ibu menunjukkan sebuah terindak.
Terindak setengah jadi. Kau lihat ini? Ia menunduk. Kau lihat ini?! Ia masih
menunduk. Ibu meraih dagu Anak. Mengangkatnya. Mau tidak mau. Ia menatap
terindak. Crashhh!!! Terindak bagai kertas yang disobek. Hancur.
Berserakan. Daun-daun cokelat muda luruh. Kenapa kau pulang cepat? Ia meneguk
liur. Ia masih menatap daun-daun pandan kering yang berserakan di ujung
kakinya—kaki ibunya. Baiklah, Ibu. Kalau Ibu tak percaya. Dada Ibu megap-megap.
Menahan buncah. Meredam marah. Aku tak peduli, kata Anak. Aku tak peduli. Pada
lonceng. Suara lonceng. Dentangnya yang cempreng. Hari ini…. Ia terisak. Kenapa?
Ibu membentak. Hari ini…. Lanjutkan! Suara Ibu makin keras. Hari ini….
Aku-aku-aku. Aku-aku-aku. Sangat merindukanmu Ibu. Di sekolah tadi. Aku
berpikir. Bagaimana kalau Ibu tidak ada lagi. Aku-aku-aku. Merindui. Ibu. Aku
tak butuh alasan untuk itu ‘kan, Bu? Ibu meninggalkannya. Menekuni daun-daun
pandan yang kering. Menganyam lagi. Terindak. Terindak-terindak. Untuk
berteduh. Kalau-kalau di surga nanti. Masih ada gerimis. Masih boleh menangis.
.
Kalau Lapar, Makanlah
Bila Lelah, Istirahatlah
Ibu. Ibu. Ibu, aku ingin bertanya.
Ya, Nak. Aku punya tugas. Dari guru. Guru Agama. Ya. Kami dimintai pendapat.
Pendapat sendiri. Kalau bisa bukan dari orang hebat. Bukan juga dari kitab
suci. Ya. Apa itu, Nak? Apa. Apa. Apa. Apa hal sederhana. Hal yang dilakukan. Demi
menjadi orang baik? Ibu tersenyum. Apa, Bu? Ibu masih tersenyum. Jadi
‘tersenyum’ jawabannya. Ibu menggeleng. Lalu? Lalu apa, Nak? Anak mencubit Ibu.
Pinggang Ibu. Ibu menggeliat. Geli. Sedikit nyeri. Geli. Sedikit geli. Kalau
lapar, makanlah. Bila lelah, istirahatlah. Anak mengerutkan kening. Bibir
monyong. Telunjuk memilin rambut sebahu. Melirik Ibu. Ibu main-mainkah? Ibu
menggeleng. Cepat sekali. Ibu main-main, ya? Ibu menyentuh bahu Anak. Anak
diam. Ibu mengangkat tubuh Anak. Anak diam. Ibu mendudukkannya. Di atas kursi.
Anak diam. Ada yang salah, Nak? Anak diam. Katakanlah. Orang-orang yang gelisah
adalah orang-orang yang hidup. Anak diam. Lalu menghela. Dua kali hela.
Bukankah itu yang dilakukan kebanyakan orang, Bu? Ibu menggeleng. Anak diam. Kebanyakan
orang serakah, Nak. Anak diam. Ketika lapar, mereka memikirkan kereta kencana.
Ketika istirahat, mereka mengimpikan mutumanikam dari utara. Mereka tidak
makan. Mereka tidak istirahat. Mereka seolah ingin menunjukkan kuasa: Manusia
mampu mengerjakan segala. Kau tahu, Nak. Mereka mengejar kerumunan bebek.
Alih-alih menangkap semua. Alih-alih dapat banyak. Satu pun lepas genggaman.
Anak diam. Diam. Diam saja.
.
Seratus Tahun Menjadi Ibu
Aku mengagumimu. Ibu. Ibuku.
Tinggalkanlah daun-daun pandan itu. Ibu mengangguk. Menatap Anak. Baiklah. Ada
apa, Nak? Berapa lama waktu yang kubutuhkan? Untuk apa, Nak? Untuk menjadi
sepertimu Ibu. Ibu tertawa. Meraih daun-daun pandan. Ibu. Jangan bercanda, Nak.
Ibu tengah membuat terindak. Bukan ketupat hari raya. Aku serius. Bu. Aku
sungguh. Penuh. Penuh dan seluruh. Ah, bahasamu, Nak. Anak terkekeh. Baiklah.
Lima belas tahun, bagaimana? Apa?! Terlalu banyak orang mati hanya karena
terkesiap, Nak? Anak jadi malu. Wajahnya memerah. Bagaimana kalau aku belajar
jauh lebih sungguh-sungguh, Bu? Sungguh? Iya, sungguh! Sungguh penuh dan
seluruh? Ya, penuh dan seluruh. Baiklah. Tiga puluh tahun, cukup? Anak tertawa.
Ibu, aku serius! Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Gemas. Melihat tingkah Anak.
Nak, Nak, Anakku. Bila serius adalah daun… maka jawabku adalah kanopinya. Anak
diam. Bila Ibu bermetafora. Pertanda ia menyebar hikmah. Baiklah, Bu. Demi
Tuhan Yang Maha Segala. Ya, Nak. Demi Tuhan Yang Maha Segala. Kenapa? Ada apa?
Kenapa Tuhan? Ibu. Aku bersumpah. Sumpah! Atas nama Ibu. Atas nama Tuhan, bila
perlu. Berapa lamakah bila…. kuhabiskan waktuku untuk belajar. Untuk menjadimu.
Ibu melotot. Seratus tahun! Anak terperenyak. Anakku, Ibu membelai rambutnya.
Belajarlah dengan hati lapang. Belajarlah dengan kerendahan. Belajarlah dalam
kebebasan. Orang-orang yang belajar dalam kekhawatiran takkan beroleh sesuatu
apa. Kecuali lelah. Kecuali cemas. Kecuali harapan!
.
Aku Hanya Ingin Berdiri di Situ
Ibu melamun. Ibu rindu Ayah. Ibu
banyak masalah. Ibu menikmati bulan. Ibu menikmati malam. Ibu ingin ke bulan.
Ibu bersedih. Ibu gundah. Anak resah. Ia berlari. Memeluk Ibu. Dari belakang.
Ia sudah besar. Tangannya bisa melingkari . Di pinggang. Pinggang Ibu. Ibu
sedang melamun? Ibu menggeleng. Ibu rindu Ayah? Ibu menggeleng. Ibu banyak masalah?
Ibu menggeleng. Ibu menikmati bulan? Ibu menggeleng. Ibu menikmati malam? Ibu
menggeleng. Ibu ingin ke bulan? Ibu menggeleng. Ibu bersedih? Ibu
menggeleng. Ibu gundah? Ibu menggeleng. Lalu. Lalu mengapa dari tadi ada di
situ. Berpayung pohon duku. Melihat bulan. Memandang lepas. Ibu memberi tanda.
Anak mendekat. Kau sudah pintar, Nak. Anak mendongak. Ke Ibu. Dagu Ibu. Tapi
kau belum bisa menjadi jauhari. Memang tidak! Aku ingin jadi darwis. Darwis
perempuan! Tidak! Kau belum bebas. Maksud Ibu? Kau belum lepas. Maksud Ibu?
Makanya kau belum bisa mengepak. Anak diam. Dunia bukan cecabang pohon. Bukan
meja berukir. Lalu, apakah ada alasan bagi angin untuk meriuhkan daun dan
meniup debu-debu? Anak masih diam. Aku hanya ingin berdiri di sini. Di bawah
pohon duku. Hanya itu. Tanpa alasan. Tanpa beban. Tanpa ikatan. Bebaskan
pikiranmu, Nak. Lalu kautangkap cahayanya.
.
Pisau
Begini. Ke sini. Rebahkan kepalamu.
Di pahaku. Di atas kain-kain. Katun-katun dari Asia. Aku hendak bercerita. Agar
kau mawas. Agar kau tak khilaf. Jangan silap. Jangan gelap. Jangan lelap.
Begini. Dengar ini. Ada cerita. Seorang ibu. Ibu yang kehilangan pisau. Pisau
biasa. Tajam. Tidak terlalu tajam. Juga tidak tumpul. Ia curiga. Anak tetangga
mencurinya. Ia mengamati. Terus mengamati. Tekun mengamati. Anak itu berjalan.
Berjalan seperti pencuri. Dua minggu setelah itu. Ia menemukan pisaunya. Di
tengah rimba. Ia terdiam. Ia menebas-nebas kerimunting. Ia pulang. Besoknya.
Anak tetangganya itu berubah. Dilihatnya berubah. Jalannya berubah. Langkahnya
berubah. Cara bicaranya berubah. Penampilannya berubah. Seperti anak-anak yang
lain. Nah, Anakku. Bukankah manusia banyak yang seperti itu? Seperti ibu yang
kehilangan pisau itu? Dongeng selesai. Anak mendengkur. Bagai gong yang
bergemuruh. Meluruh. Menutup cerita.
.
Ia, Segala Puji Bermuara
Pujian sejati adalah kepercayaan
yang diberi. Maka, sebelum kita menggali lubang. Sebagai jeda dalam sebuah
kisah panjang. Kuganjalkan sebongkah pengaduan di antaranya. Antara kau dan
aku. Anak dan Ibu. Gunung dan lembah. Sungai dan lubuk. Aku melahirkanmu. Kau
memanggilku Ibu. Aku memanggilmu Anak. Dua beranak. Aku memercayaimu sebagai
anak sebagaimana Tuhan memujiku dengan menganugerahimu. Dan aku sudah percaya.
Kau tidak akan jauh-jauh. Kau hanya akan bermain. Di alun-alun. Tapi kutunggu.
Kutunggu dan kutunggu. Tapi kucari. Kucari dan kucari. Kau tak kunjung
menyambangi. Anakku. Begini saja. Aku yakin. Kau akan-dan-pasti datang.
Menyongsongku di siang yang lekat. Aku merinduimu, Bu, serumu kelak. Sungguh. Ah,
pasti begitu. Hmm, Tuhan. Kau memang menurunkanku. Kau memang meniupkan anak ke
dunia. Tapi aku… seorang ibu. Mengandung. Melahirkan. Membesarkan. Merawat.
Apakah masih perlu dijawab: Apa yang sebenarnya kulakukan kepada anakku? Aku
lebih mengetahui. Paling mengetahui. Mungkin. Mungkin juga daripada-Mu. Maka,
Kau tak perlu menculiknya. Karena aku telah memuji-Mu. Dengan memercayai-Mu.
Untuk memeliharanya. Di sana. Di alun-alun. Alun-alun surga. Ambillah. Ambillah
anakku!
.
Ibu yang baik adalah ibu yang memercayai
Tuhan memelihara anaknya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar