[1]
MUSIM kemarau paling menyiksa bagiku.
Bukan panas itu yang menyiksaku, bukan. Tapi, mimpi sepasang sepatu yang terus
berkelebat di kepala di sepanjang jalan. Andai kata aku punya sepatu, telapak
kakiku tidak akan melepuh atau membengkak. Sebenarnya aku sudah mencoba mencari
uang, sebanyak mungkin, agar bisa beli sepatu. Sejak Kelas 3 SR, aku sering nguli
nyeset. Itu kulakukan sepulang sekolah, di sela-sela jadwal rutin
menggembala domba. Upah nguli nyeset terus kutabung demi dua mimpi
besarku—sepatu dan sepeda. Namun, sering kali kuserahkan sebagian besar kepada
ibuku dengan sepenuh-penuh kebahagiaan. Kebutuhan mengisi perut lebih mendesak
ketimbang mimpi sederhanaku itu. Setiap menyerahkan hasil nguli nyeset,
biasanya mata Ibu berkaca-kaca, seperti hendak mengatakan: “Tidak seharusnya
kamu bekerja seperti ini, Nak!” atau mungkin “Terima kasih, Nak.”
Senyum Ibu adalah ungkapan terima
kasih yang tak terbandingkan. Hanya sekilas, tapi rasa haru selalu memenuhi
dada. Setiap melihat mata Ibu berkaca-kaca, letih dan gatal-gatal di sekujur
tubuh sirna begitu saja. Seperti biasa, Ibu akan membelakangiku, tentu setelah
menepuk-nepuk pundakku sambil memberikan senyumnya yang paling indah.
Sungguh, tak ada kegembiraan
melebihi senyum Ibu.
[2]
Kebon Dalem, kampung kelahiranku,
sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, tepatnya gubuk, yang letaknya
saling berjauhan. Jika berjalan seratus atau dua ratus langkah ke arah timur,
Sungai Kanal segera terlihat. Di sepanjang sungai itu banyak pepohonan yang
besar-besar, seperti trembesi, angsana, jawi, dan jati. Di sebelah barat dan
selatan hanya ada tebu. Ya, ladang-ladang tebu terhampar sejauh mata memandang.
Ada juga beberapa petak sawah yang ditanami padi atau jagung, tapi tak seberapa
dibanding tebu-tebu yang tingginya kini sudah melampaui tubuh orang dewasa.
Di sanalah, di ladang-ladang tebu
itu, aku mengais rezeki.
Tuhan memberkati Kebon Dalem dengan
tanah yang gembur dan subur. Padi, palawija, pisang, ketela, atau umbi-umbian
tumbuh dan berbuah dengan baik. Tapi, warga Kebon Dalem miskin. Tidak ada
penduduk asli kampung ini yang kaya. Tanah yang gembur dan subur itu bukan
milik mereka. Ladang-ladang itu sebagian milik “tuan tanah”—orang-orang
pendatang berduit yang punya tanah berhektare-hektare—dan sebagian lainnya
milik negara.
Nyaris seluruh lelaki dewasa di
Kebon Dalem bekerja sebagai buruh: menggarap tanah bengkok milik aparat desa,
buruh harian di perkebunan tebu, atau kuli nyeset di ladang tebu.
Ibu-ibu juga aktif membantu suami-suami mereka dengan membatik. Meski upah
hanya diterima sekali setiap dua bulan, lumayan untuk mempertahankan kebulan
asap di dapur. Anak-anak pun tak kalah giat. Ada yang menggembala domba, sapi,
atau kerbau. Ada juga yang nguli ngangkut di Pasar Takeran atau kuli
harian di ladang tebu.
Meskipun miskin, anak-anak—atau
remaja seusiaku—semuanya sekolah. Bagi penduduk Kebon Dalem, kemiskinan bukan
halangan untuk menuntut ilmu.
[3]
Rumahku, seperti rumah lainnya di
kampung ini, berlantai tanah. Jika musim hujan tiba, akan lembap dan basah.
Setiap kemarau datang, pasti panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah yang
lembap atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap malam. Ajaibnya,
kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat.
Dinding rumahku terbuat dari
potongan-potongan bata merah yang dikumpulkan Bapak satu per satu dari
sisa-sisa bangunan yang tak digunakan oleh pemiliknya. Tak ada kursi, meja,
atau perabotan lain yang kami punya. Kecuali, sebuah lemari kayu tua di pojok
kiri dapur. Bukan untuk menyimpan pakaian, melainkan untuk menaruh
barang-barang pecah belah, seperti piring, gelas, dan perabotan dapur lainnya.
Lemari itu sudah tua, lebih tua dari aku atau kakak keduaku, Sofwati.
Hanya ada dua kamar. Satu ditempati
Bapak dan Ibu. Sedangkan kamar yang satu lagi kamar untuk kakak-kakakku, Atun
dan Sofwati. Namun, semenjak mereka tidak tinggal di rumah ini lagi—Atun tugas
mengajar dan Sofwati kuliah, keduanya di Madiun—kamar itu menjadi tempat
menyimpan peralatan membatik, seperti kain mori, gawangan, canting, anglo,
dingklik, dan wajan malam. Tak ada ranjang atau kasur di dalam kedua
kamar itu. Pakaian yang tak seberapa banyak cukup dicantolkan di paku, selesai.
Jika ada yang datang bertamu, tikar pandan langsung digelar di ruang tamu—jika
ruang lapang tempatku tidur itu layak disebut ruang tamu—dan di sanalah tamu
itu dijamu. Kalau tamu itu terpaksa menginap, biasanya aku dan Zain yang
mengalah, menyingkir ke langgar dan tidur di sana.
Meski begitu, kami tak pernah
mengeluh atau merasa menderita.
[4]
Iskan. Begitu nama Bapak. Tak ada
sekulum senyum atau kata-kata lembut yang saban hari bisa kudengar dari mulut
Bapak. Matanya yang bening dan tajam seolah perintah-perintah yang tak boleh
dibantah, seperti “Sini!” atau “Cepat!” dan tak seorang pun dari anak-anaknya
yang berani menyanggah perintah itu. Termasuk aku.
Bapak sangat pendiam. Sampai-sampai
aku bisa menghitung berapa banyak kata yang diucapkannya dalam satu hari. Tapi,
Bapak sangat ulet dan tangkas bekerja. Tangannya tak pernah diam. Ada saja yang
dikerjakan: memangkas pohon beluntas, meratakan lantai tanah rumah, membuang
pelepah pisang yang daunnya mulai menguning. Tak pernah terdengar Bapak
mengeluh walau keringat menguyupi tubuhnya. Uban basah mengilap menjadi
pemandangan tak menjemukan. Tak ada artinya tubuh ringkih atau kulit keriput,
Bapak terus dan terus bekerja.
Lisna, ibuku, tak kalah sibuknya.
Dia membatik di rumah meski dengan upah kecil, sepuluh rupiah, untuk satu kain
yang rampung dibatik. Upah itu biasanya dibelikan tepung ketela oleh Ibu.
Begitulah, setiap hari Ibu bergelut dengan canting dan kain, tak peduli siang
atau malam. Mbatik seolah hiburan paling menarik untuk melepaskan penat
atau melupakan persoalan hidup. Dari mbatik itu, barangkali, Ibu belajar
bersabar.
Dalam belitan kemiskinan, Ibu tak
pernah membantah, apalagi melawan, apa saja yang dilakukan atau diinginkan oleh
Bapak. Tak ada kalimat-kalimat menggugat seperti “Mengapa?” atau “Bagaimana
dengan…?” terlontar dari sepasang bibirnya, sekali saja.
Ibu selalu mampu membuat suasana
rumah tetap bernyawa. Sepasang lengan Ibu selalu hangat, baik lewat pelukan
ataupun usapan, dan kami, anak-anaknya, selalu merindukan lengan hangat itu.
Ibulah yang rajin mengingatkan aku untuk sarapan setiap pagi atau mengelap
keringat di kening adikku, Zain. Ibu juga yang tak pernah letih meminta kami
agar tekun menuntut ilmu dan tetap sabar. Terutama, saat aku dan adikku mulai
merajuk dan banyak meminta.
[5]
Pagi ini tak ada nasi tiwul di
dapur, padahal kemarin Ibu sudah belanja agak banyak. Oya, walau hanya nasi
tiwul, makanan itu selalu kurindukan. Hidup seadanya membuat aku tak pernah
membayangkan ikan-ikan segar atau opor ayam tersaji di atas meja makan. Di
sini, tak ada meja makan, jadi untuk apa aku membayang-bayangkan sesuatu yang
tak mungkin ada itu, bukan? Sebab tak ada nasi tiwul di dapur, aku bergegas ke
kamar Ibu. Aku curiga, belum pernah Ibu bangun setelat ini. Barangkali karena
letih semalaman duduk mencanting.
Tapi, kamar Ibu kosong, tak ada
siapa-siapa di situ.
Lalu, lamat-lamat terdengat
seseorang yang sedang terbatuk-batuk, kemudian diikuti lenguhan kesakitan. Itu
suara Ibu. Tapi, di mana? Alangkah terkejutnya aku ketika melihat ibuku
berjongkok sambil memegangi batang pisang. Bahunya terguncang-guncang menahan
batuk.
Ibu menoleh. “Dahlan, tolong
ambilkan Ibu segelas air, Nak!”
Tanpa menunggu perintah itu
diulangi, aku berlari kembali ke dapur, mengambil cerek berisi air matang di
atas tungku dan sebuah gelas. Bagai terbang saja rasanya karena aku takut
terjadi sesuatu pada ibu. Telapak kaki seolah tak menapak di tanah lagi ketika
melewati pintu dan mendapati ibu sudah terjengkang. Aku terpekik melemparkan
cerek dan gelas di tangan, berlari sekencang mungkin dan berhenti menjerit
setelah merasakan kengerian mencengkam seketika. Dengan kedua tangan, aku
mengguncang-guncang tubuh Ibu.
Ibu tak bergerak. Dengan panik, aku
meraba pipi Ibu dan berdoa semoga tak terjadi apa-apa, kemudian menggigil
ketika memeluk tubuh ibuku yang terasa dingin, sangat dingin. Selama beberapa
detik, aku tidak bergerak. Aku hanya mengamati ibu dengan saksama, memeriksa
lehernya dan mendapati masih ada denyut nadi di bawah kulit lehernya yang
dingin. Aku cemas memikirkan tindakan apa yang seharusnya kulakukan. Lalu, mata
ibu mengerjap, beberapa kali berusaha mengangkat kepala dan terbatuk.
“Ibu kenapa? Bangun, Bu….”
Ibu pingsan lagi. Tak bergerak. Dan…
darah! Ada sisa-sisa darah merah kehitam-hitaman di ujung bibir ibuku.
Aku menjerit ketakutan, pandanganku
mengabur.
[6]
Ketika tersadar, tubuhku terbaring
di atas sehelai tikar pandan. Aku mencoba bangkit, tapi persendianku masih
terasa lemas. Ada beberapa menit kupejamkan mata ketika gumam-gumam lirih
memasuki telinga. Kudapati sebuah wajah kurus berkulit hitam sedang
memandangiku: wajah yang tampak lebih tua daripada yang pernah kulihat selama
ini, wajah yang seketika dipenuhi kerutan.
“Ibu, Pak?”
Bapak menarik napas. “Syukurlah kamu
sudah siuman.”
“Ibu, Pak….”
“Sudahlah, tenangkan dirimu dulu,”
ujar Bapak sambil mengelus rambutku. “Ibu ndak apa-apa….”
Aku mengangkat kepala dan memandangi
orang-orang yang tampak panik. Ada dua orang perempuan berdiri di ambang pintu
kamar, entah berapa orang yang sedang di dalam kamar karena pandanganku terhalang,
dan Zain yang terus berurai air mata duduk di samping lemari kayu tua.
Pada saat itu, masuklah Mandor Komar
dan istrinya.
“Mas, ndak dibawa ke rumah
sakit?” tanya Mandor Komar kepada bapakku.
Bapak tergeragap, seperti orang
linglung yang tiba-tiba dikejutkan. “Numpak opo?”
“Pakai sepeda saya saja.”
“Panggil dokar saja…,” usul
seseorang dari dalam kamar.
“Iya, mosok naik sepeda ke
Madiun …,” sahut yang lainnya.
Mandor Komar mengernyit, “Ya, sudah.
Saya cari dokar dulu.”
Tiba-tiba kepalaku pening. Aku merasa
bahwa masih ada kejadian lain yang lebih mengejutkan daripada peristiwa pagi
ini. Orang-orang kampung mendadak sibuk mengangkat tubuh ibu keluar kamar,
terus melewatiku, dan akhirnya keluar rumah. Sekilas aku lihat perut ibu lebih
besar dari kemarin atau hari-hari sebelum kemarin. Seperti perut perempuan yang
sedang hamil tua. Aku ingin berdiri menyaksikan apa yang akan terjadi
berikutnya, tapi lututku gemetaran. Rasanya sendi-sendiku telah dilepas satu
demi satu, hingga aku kehilangan daya untuk berdiri.
Bapak yang biasa bergerak lincah dan
cekatan, tampak lamban dan mondar-mandir tidak karuan di dalam rumah.
“Ibu kenapa, Pak?” tanyaku.
Bapak tidak menjawab, hanya
menatapku lekat-lekat.
“Ibu ndak apa-apa, kan?”
tanyaku lagi.
“Berdoa saja, Le!” kata Bapak
berusaha menenangkanku meskipun dia sendiri terlihat cemas dan kebingungan.
Beberapa saat kemudian, Mandor Komar
masuk lagi.
“Mas, kelamaan nunggu dokar
di sini. Mending pake sepeda dulu ke Bukur, nanti di sana nunggu dokar
datang.”
Suara Mandor Komar, yang sebelumnya
selalu terdengar “mengerikan” terutama ketika aku atau teman-teman lain sedang
menggasak tebu, sekarang terdengar makin menakutkan. Bapak bergegas ke luar
rumah, mengikuti Mandor Komar. Kasak-kusuk itu kini berpindah ke luar rumah,
sebelum akhirnya keheningan terasa mengerikan.
Sepertinya Ibu sudah dibawa pergi
dan aku tidak tahu dibawa ke mana.
[7]
Zain tetap duduk mencangkung di
samping lemari kayu tua. Jangankan dia yang masih delapan tahun, aku saja
bingung dan tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang kutahu, ibu
muntah darah. Dan sekarang, tinggal kami berdua.
Hawa dingin mulai merayap di kulit
wajahku. Aku mulai lelah, lelah berpikir. Aku tidak tahu sudah berapa lama
waktu berlalu. Dari jendela, tampak matahari mulai tinggi. Sendi-sendi di
tubuhku juga masih terasa lunglai, seperti enggan diperintah walau sebatas
duduk atau berjalan mendekati saudaraku yang meringkuk menahan isak itu.
Zain menatap dengan pandangan
kosong. “Mas, Ibu ke mana?”
“Ke rumah sakit….”
“Ibu sakit?”
Aku mengangguk, merapatkan bibir dan
memejamkan mata, tapi bayangan Ibu dan tangis Zain memaksaku tetap terjaga. Aku
bangkit dan mengambil buku catatan di atas lemari kayu tua, duduk memeluk lutut
sambil bersandar di dinding rumah, meletakkan buku di atas paha, dan kutulis:
Inilah hari dengan kesedihan tak
berkesudahan. Ibu jatuh sakit, Bapak tidak ada di rumah, dan aku tak berdaya.
Aku tak bisa memejamkan mata biar terlupakan, sebentar saja, kesedihan yang tak
kuharapkan ini, tapi mataku tetap terjaga. Aku menghibur Zain, membujuknya agar
berhenti menangis, tapi air matanya bagai bah yang terus-menerus mengalir.
Kutaruh buku catatan itu di atas
tikar, dan kucoba membaringkan badan. Ya, biasanya aku lebih tenang setelah
menuliskan apa saja yang kurasakan. Bagiku, menulis tak ada bedanya dengan
obat, menyembuhkan luka akibat sayatan kepedihan. Sekuat tenaga kupaksa mata
untuk terus memejam, tapi isak Zain mengentak-entak gendang telinga, seolah
elegi yang dilantunkan dengan nada paling miris. Sungguh, aku butuh tidur,
sejenak pun bolehlah.
Tetapi, aku tahu tidak akan bisa
tertidur dengan mudah. (*)
.
.
Cafelosophy, Maret 2012
Khrisna Pabichara, penulis novel Sepatu
Dahlan—terinspirasi dari kisah hidup Dahlan Iskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar