SETUMPUK bibir menyunggingkan senyum. Sih puas dengan jerih payahnya setiap pagi. Ia hanya tidak puas pada derita jiwa yang masih dikekang raga.
Telapak kaki yang ia gunakan untuk
berpijak telah menebal beberapa centi. Langkahnya pasti, berangkat sebelum
subuh ke hutan jati. Rombongan pencari kayu yang dulu ramai, kini tinggal Sih
sendiri. Langkah-langkahnya biasa didahului kawan-kawan pengumpul ranting jati,
dengan Hember tua, Gazelle tua, dan Vesting keluaran RRT yang mereka naiki. Sih
tidak punya, bukan karena tak kuasa membeli.
Ia pulang ketika matahari menyinari
dahi. Di punggungnya sebongkok kayu bakar dari ranting-ranting sisa pencuri.
Jarik gendong yang dulu melingkar di tiga perut bayi, memeluk erat puluhan kayu
bakar di punggung Sih. Bukan karena sedang melacak dompet yang tercecer bila ia
berjalan membungkuk, lebih karena beratnya beban ranting basah seukuran betis.
Jika hari sedang mengikuti kata
hati, Sih tak perlu jauh membawa kayunya pulang ke rumah. Lambaian tangan bisa
segera meringankan beban di punggung. Tujuh ribu rupiah sudah cukup mampu
menghilangkan rasa pegal di badan.
Sih letih, namun tidak heran. Ia
memang perempuan yang tak pernah makan bangku sekolahan. Kata orang-orang, uang
kertas dalam kepalanya berakhir di angka sepuluh ribu. Dua puluh ribu? Lima
puluh ribu? Seratus ribu? “Itu bukanlah uang, hanya kertas yang tidak laku,”
katanya.
Ia duduk sore itu. Di hadapannya
sebuah meja segi empat dari kayu Trembesi seharga empat kali ia menjual kayu
bakar jati. Kursi yang menyangga pantatnya kini harganya empat kali ia berjalan
ke hutan. Sih tidak sadar, di bawah kursi-kursi yang mengitar meja pada empat
sisinya seekor undur-undur sedang membuat rumah.
Iringan air mata langit
sedikit-sedikit memercik dahi, melewati sela-sela genting tua dari tanah liat
warisan budaya Babylonia. Langkah-langkah para petani pulang kandang juga turut
serta mengalir masuk ke telinga Sih. Pijakan di tanah basah mambuat suara yang
melewati lubang kecil-kecil di antara bambu-bambu tipis yang telah dianyam.
Janda itu masih duduk menyangga dagu
dengan tangan kiri. Sikutnya menempel di meja, tangan lainnya sesekali
mengambil intip lalu memasukkan ke mulut berbibir hitam. Tiang penyangga rumah
hanya diam berdiri tegak, semuanya tak mampu mengajak bicara. Tetaplah Sih
dalam kesendirian, namun tidak membosankan.
Suaminya? Tidak mungkin pecundang
itu datang. Dua anak lelakinya, biarlah masing-masing mencari makan. Sang Hyang
Lawu masih sayang, tak mungkin menelantarkan dua kepala yang belum mencapai
lima belas tahun. Wo Imai sudah pasti bernasib baik. Si bungsu sejak masih
berumur tiga bulan sudah dibawa mobil sedan. Sih menerima emas berupa kalung
dan gelang sebagai imbalan, belum lagi tiga ratus uang sepuluh ribuan.
Sambil duduk, Sih masih belum paham,
kemana emas dan uang. Meski ia sadar semuanya telah menjadi pembungkus tulang
di tubuhnya. Tanpa ia sadari, zaman telah berganti. Di luar kemampuan kepala
Sih, kayu bakar menjadi korban konversi. Pikirannya tak mampu menjangkau berita
di televisi, walaupun sekadar mambayangkan. Maklum, ia satu-satunya janda
setengah baya buta aksara di Banyubiru.
Sih beranjak ke belakang rumah. Kayu
bakar yang ia kumpulkan telah memenuhi belakang rumah. Tak seorang pun dalam
bulan ini orang sudi membeli.
Seeor tokek berbunyi delapan kali
sebelum pintu reot rumahnya diketuk seseorang. Sih beranjak ke depan, sandal
japit di kakinya menginjak rumah undur-undur yang belum selesai dibangun. Ia
menarik slot pengunci pintu yang terbuat dari kayu. Pintu terbuka sebelum Sih
sempat menariknya.
Ia masih ingat siapa pria di
depannya meski hari mulai petang dan lampu bohlam lima watt tak begitu menyala
terang. Siang tadi, pria itu tersenyum lalu mengedipkan mata kiri saat Sih
sedang menjemur kayu bakar di bawah pohon pisang. Sih tersenyum juga dan
membalas kedipan, mengaggukkan kepala ketika pria itu sore nanti akan datang.
“Aku dari sawah, langsung kemari,”
menyelonong masuk melewati tubuh Sih sambil tangannya sibuk membuka kancing
baju. Sih masih berdiri di depan pintu tatkala pria itu menjereng baju di
sandaran kursi. Pria itu juga tidak tahu tetasan air dari bajunya memaksa
undur-undur pindah tempat untuk membuat rumah.
“Eh, tutup pintunya,” yang
diperintah baru saja ingin menghampiri pria itu, namun ia balik kanan dan
menuju ke pintu.
To, pria yang datang di waktu hujan,
adalah orang pertama yang sudi masuk rumah Sih. Ia tetangga RT, jika berjalan
kaki ke sawah selalu melintas di depan rumah Sih yang lebih pantas disebut
gubug reot pinggir sawah. Istri To perempuan yang cantik, tidak seperti Sih.
“Ayo,” tatapan mata To menggerayangi
sekujur tubuh Sih. Perempuan itu tak biasa menerima tamu, tapi sering bertamu.
Ia ingin mencontoh tiap orang yang pernah menjamunya ketika mengantar kayu
bakar: membuatkan minum.
“Tidak usah,” kata To.
Polos, lugu, jujur, namun tumpul,
seperti ketika ia membalas kedipan mata To. Tak paham artinya, tak tahu maksud
kedatangan To juga. Lalu ia mendekat dan duduk berhadapan dengan lelaki yang masih
basah kuyup.
“Satu kuintal padi akan kuantar ke
rumah ini, musim panen masih dua bulan lagi,” To berbicara seperti itu sambil
berdiri menarik tangan Sih, membawanya ke sebuah bilik ranjang yang disekat
dengan anyaman bambu berpintu kain kelambu.
Sih mengikuti tangan yang
menariknya, sejenak ia berhenti sebelum menyibak kelambu. “Satu kuintal,
benarkah?” tanya Sih dengan girang. To hanya mengangguk penuh birahi. Sedangkan
Sih masih belum tahu apa yang sebentar lagi terjadi, ia hanya mengikuti.
***
Undur-undur yang terganggu, cicak
yang diam, dan tokek yang tadi berbunyi menjadi saksi petang itu. Mereka tidak
akan bercerita kepada siapa-siapa. Seorang Sih memang sunguh-sungguh tak
mengerti makna dosa, tak tahu arti neraka, sebab tak ada yang memberi tahu.
Sedari kecil ia senantiasa bekerja, melakukan sesuatu untuk mendapat upah,
menjual barang akan mendapatkan uang. Orang tua Sih tak memperkenankan anaknya
sekolah, takut menjadi orang yang tidak jujur.
Para tetangga juga tak mendidiknya.
Sih adalah kayu bakar, jika butuh memasak, barulah mereka ke rumah Sih, sebatas
membeli kayu lalu pulang. Begitupula dengan Sih, tak pernah merumpi dengan para
ibu. Ia tahu hidup untuk bekerja, hidup tidaklah untuk bicara saja, itu pesan
orang tua Sih.
Peristiwa di balik kelambu malam itu
adalah pengalaman baru bagi Sih. Ia ikuti kemauan To melepas gejolak pangkal
pahanya. Toh, To memberinya satu kuintal, meski menunggu panen. Sih juga tahu
kebiasaan itu, para manusia di desanya bilang masa panen adalah masa membayar.
Mereka akan membayar pupuk yang sebelumnya telah mereka pakai, mereka akan
membayar biaya SPP anak-anak, mereka akan membayar hutang di warung, bahkan
membayar kayu bakar milik Sih juga di waktu panen. Sih maklum dan percaya.
Sih seakan mendapatkan pengalaman
berharga. Tapi ia tak mungkin menawarkan auratnya dengan cara berteriak seperti
menjual kayu bakar. Selugu-lugunya janda itu, ia tahu bawah perutnya tak boleh
dibicarakan dan dipertontonkan. Namun boleh diapa-apakan di tempat yang
tertutup, toh dulu suaminya juga melakukan hal yang sama.
“Ia akan memberiku satu kuintal,
dulu suamiku tak memberi apa-apa,” batin Sih suatu siang. Sejak itu,
berkali-kali To datang ke rumah Sih. Terkadang dua hari sekali, seminggu
sekali, asal lingkungan sedang sepi, meski tak harus ada hujan.
Man dan Basu, pria bercucu dan
beranak satu, mengikuti jejak To. Bagi Sih, itu melegakan hati, kayu bakarnya
sudah tak bisa diharapkan. Perempuan itu membuat satu kuintal sebagai sebuah
patokan. Tidak kurang, boleh lebih. Segalanya terjadi setelah mereka berdua
mengangguk. Namun Sih masih bingung satu hal, mengapa ketiganya berpesan pada
dirinya agar tidak menceritakan yang disaksikan undur-undur, tokek, dan cicak
kepada siapa pun? Sih hanya mengikuti.
Dua bulan dinanti Sih dengan menghitung
kusen pada langit-langit rumah yang sebenarnya adalah genting. Besoknya lagi ia
menghitung genting, lalu jumlah nyamuk yang mengiang di telinga seperti
mengejek saja tanpa menggigit. Bukan jumlah sebenarnya yang didapatkan Sih
ketika berhenti menghitung, namun hasil yang diinginkannya. Hidup penuh
hitungan, berhenti ketika lelap menjemput mimpi.
Pagi itu Sih tak ke hutan. Ia
menyapu, dilihatnya banyak rumah undur-undur di lantainya yang berdebu. Jogan
tempatnya berpijak memang tempat yang membahagiakan bagi binatang itu. Sih
melihat satu rumah undur-undur yang besar, berbentuk kerucut terbalik sempurna,
tepat di bawah tiang dalam rumahnya yang dekat dengan kelambu.
Sih girang, ia mengangkat sapu,
mengembalikan ke belakang rumah, lalu balik lagi di atas rumah undur-undur. Sih
memperhatikan seekor belalang sangit mati terperangkap dalam jebakan rumah
undur-undur. “Musim panen tiba,” girang Sih setengah berbisik.
Sih keluar rumah, bertanya kepada Wo
Min yang kebetulan membawa dua sak padi di atas sepedanya. Jawaban yang Sih
terima, “Belum, baru beberapa sawah, seminggu lagi panen besar.”
Panen pertama hingga panen raya
membuat Sih sedemikian sibuk. Ia memberikan jasanya membantu pemilik sawah
memanen padi. Bermodalkan sabit kecil untuk memotong tanaman padi, batu
seukuran kepala manusia untuk merontokkan padi dari tangkai, dan layar tempat
memukulkan tangkai-tangkai padi ke batu, ia berangkat pagi, meninggalkan
kesehariannya di hutan jati.
Sepuluh kilogram yang ia kumpulkan,
mendapatkan upah satu kilogram padi. Sayangnya Sih tidak tahu hitung
menghitung. Setahu Sih, bawon [1] yang ia dapatkan berjumlah satu sak,
itu saja. Padahal kalau ia tahu, selama satu minggu, ia hanya diupahi 60
kilogram, itu pun setelah derep [2] di sawah Wo Min, Bupad, dan Panut.
Belum lagi harus mengusung dari sawah ke rumah, tentu begitu lelah.
Sih sebenarnya juga tak mampu
membayangkan, satu kuintal itu berapa sak. Yang ia tahu jumlah itu banyak,
bahkan sangat banyak. Sambil duduk di kursi, bawon satu sak yang kini sudah
bersandar di tiang rumahnya ia perhatikan. Lalu angannya melayang ke mulut To
di petang pertama singgah di rumah Sih. Seperti sebuah kaset ia memutarnya
kembali, “Satu kuintal,” ia lanjutkan memutar kaset kedua dan ketiga, bunyinya
sama.
Setiap sore Sih duduk di kursi, persis
saat hujan ia mendengar langkah langkah petani pulang dari sawah seperti dulu.
Setiap sore juga, tak ada langkah kaki mendekat, terdengar lalu hilang.
Penantiannya mencapai dua purnama. Musim panen berganti tanam, masih tak ada
ketukan di pintu.
Suatu saat seorang perempuan datang
ke rumah Sih, membeli kayu bakar. Ia bernama Warti, sebelum beranjak pulang,
Sih berpesan kepadanya, “Suamimu punya hutang gabah satu kuintal.” Dan Sih
menjawab dengan polos berondongan pertanyaan yang muncul setelah pernyataannya.
Sih tak tahu etika itu, Sih tak tahu
cara berbohong. Umpatan yang ia terima dari istri To ia anggap ocehan burung
pentet yang diam jika sudah makan belalang. Namun makian dan tamparan yang
datang dari To beberapa saat kemudian, membuatnya menjadi linglung. Sih tidak
bisa menangis karena Sih benar-benar tidak paham etika pangkal paha.
***
“Musyawarah pada malam hari ini akan
diawali dengan pengakuan dari Sih,” ujar Kamituwa di tengah warga kampung.
Acara malam itu memang heboh, tidak sepi seperti rapat biasa.
Sih melakukan yang diperintahkan
Kamituwa, membuat pengakuan. Selama seperempat jam ia berbicara dengan bahasa
Jawa dan raut muka menunduk. Tangannya mengelus-elus perut yang kini sudah
tampak mengendut.
Manusia-manusia yang disebutkan
dalam ceritanya tidak ada yang datang, tidak masuk wilayah pemerintahan
Kamituwa. Detik itu juga puluhan pemuda menuju rumah-rumah manusia dalam
cerita. Tak lama ketiganya tiba, diseret di tengah-tengah telaga manusia yang
marah, akibat saling tuduh antar sesama tak pernah terbukti kebenarannya. Kini
kebenaran itu telah duduk bersila di depan Sih, di samping Kamituwa, di tengah
kepungan warga.
“Apakah kalian bertiga?” suara
Kamituwa parau. Hanya To yang mengangguk, Basu menggeleng marah dan membentak
Kamituwa. Tak disangka lemparan air ludah meluncur dari mulut-mulut warga yang
sedang butuh sasaran amarah. Sedangkan Man malah menangis.
“Penuhi janji kalian kepada Sih
sekarang juga,” para pemuda membawa mereka pulang ke rumah masing-masing.
Sebentar kemudian ketiganya kembali ke rumah Kamituwa membawa sembilan sak
gabah, masih di bawah ancaman para pemuda.
Kamituwa menyuruh semua orang untuk
diam. Ia melihat Sih, lalu menyapu ketiga wajah laki-laki terhukum dengan mata
yang dibuat bijaksana, “Kalian bertiga adalah ayahnya, biayai persalinan Sih.”
“Aku yang akan membesarkan bayi di
perut itu,” tutup Kamituwa. (*)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar