POPOR senapanku terangkat. Mataku beradu dengan mata wajah polos di
hadapanku. Rasa benci tiba-tiba menjalari hatiku membalas tatapan kebencian
bocah delapan tahunan, yang mengacungkan batu sekepalan tangan ditujukan
kepadaku.
“Dia musuh masa depanmu, merampas tanah yang
seharusnya hanya milikmu.” Suara Rabbi Shahak seolah-olah berdesis di
telingaku. “Antisemit dan primitif,” lanjutnya berulang-ulang, hampir setiap
hari sambil memperagakan gerakan mencium Tembok Ratapan. Mungkin saat itu aku
baru lima tahunan.
Suara-suara mengejekku dari belakang seolah-olah
aku tidak berani menghadapi bocah Palestina ingusan ini, semakin memicu
amarahku. Kukumpulkan rasa marah itu di ujung pelatuk pistolku. Senapanku
menyalak sebelum batu di tangannya bersarang di mata kiriku. Aku masih sempat
melihat peluruku begitu jitu menembus dada kirinya. Darah segar muncrat
membasahi seragam sekolahnya.
Anak itu meneriakkan sepenggal kalimat bahasa
Arab yang sering dikumandangkan di masjid-masjid. Tak ada rasa takut sedikit
pun dari suaranya. Seakan dia bangga menjemput maut setelah menghadang tank
kami di jalanan hanya dengan batu di tangan. Sendirian! Kepalaku terasa
berputar. Batu dari tangan bocah itu seperti membuat bola mataku pecah. Rasa
kebencian yang terpancar dari sorot mata bocah Palestina itu ternyata mampu
menghasilkan energi yang luar biasa dahsyat. Bocah itu telah lebih dahulu rebah
sebelum akhirnya aku juga terjerembap, bersimpuh memegang mata kiriku.
Sebelum benar-benar gelap, sesosok bayangan
wanita seperti melintasi pandanganku. Tangannya berusaha menggapaiku. Namun,
akhirnya dia jatuh tertelungkup menimpa tumpukan tubuh di hadapannya. Kelebatan
itu terlihat seperti nyata. Aku menangis sekuat tenaga ditarik seseorang dengan
keras menjauhi tumpukan tubuh bermandikan darah. Sketsa mengerikan itu
mengantarku ke dalam lengang.
Sesaat kesadaranku hilang. Hanya terdengar suara
gaduh, ingar-bingar yang jauh, lalu diam. Entah berapa lama aku tak sadarkan
diri. Aku tersadar kembali saat mendengar suara tembakan beruntun beberapa
kali. Aku berusaha membuka mata walau kepalaku terasa berat. Aku bergidik!
Tubuh bocah kecil itu ternyata sedang ditembaki beramai-ramai oleh
rekan-rekanku. Tubuh bersimbah darah itu berkedut beberapa kali setiap timah
panas menembus tubuhnya, sampai akhirnya dia mengejang. Sepertinya semua
rekan-rekanku tak ingin kehilangan momen berharga mengakhiri riwayat bocah
kecil penggenggam batu yang berani-beraninya melawan tentara Israel hanya dengan
batu di tangan. Mungkin masih terlalu dini baginya untuk tahu sepak terjang
Stern, Irgun, dan Haganah dulu menghancurkan De’ir Yasin [1].
Aku tercekat dengan pemandangan mengerikan di
hadapanku. Aku ingin berpaling, tapi entah mengapa tangan Rabbi Shahak terasa
seolah-olah mengelusku, memberi kekuatan dan memberkati hari pertamaku bertugas
dalam wajib militer.
Anggota patroli yang belum semuanya kukenal baik
kembali berlompatan menaiki tank-tank dengan wajah terlihat puas sambil
melempar joke penuh
cemoohan kepada bocah Palestina yang baru saja kami habisi. Perjalanan
dilanjutkan untuk mengontrol pelaksanaan jam malam yang sebentar lagi akan
diberlakukan.
Aku lebih banyak diam saat mata dikompres. Ada
sedikit rasa shockdi hatiku
dengan pemandangan yang baru aku alami dan aku terlibat langsung di dalamnya.
Selama ini aku hanya mendengar cerita dari teman-temanku yang ikut wajib
militer.
“Jangan terlalu dipikirkan, Daniel,” Mitchel
Fisk, teman sefakultasku yang telah lebih dahulu memasuki wajib militer menepuk
bahuku.
“Saat pertama kali ikut patroli aku juga
mengalami shock yang sama
sepertimu. Nanti juga kau akan terbiasa,” Fisk menawarkan permen karet di
tangannya. “Lumayan, untuk mengurangi stres,” ujarnya. Aku terdiam sembari
mengunyah permen karet. “Apa mungkin aku nanti akan bisa terbiasa dengan
kondisi ini?”
Tank-tank kami melewati pinggiran kota,
menyusuri tembok pembatas yang membelah Yerusalem. Tembok sepanjang seratus
tiga puluh kilometer dengan tinggi sepuluh meter yang dulu dibangun atas
inisiatif Perdana Menteri Ariel Sharon ini terlihat begitu angkuh dengan sistem
monitor canggih yang di pasang di atasnya.
Di ujung jalan yang tidak bertembok pembatas,
banyak warga Palestina sedang antre untuk melewatinya. Para tentara Israel
bersiaga di sana. Semua warga diperiksa, mulai dari cek kartu identitas,
digeledah, bahkan sampai ke pakaian dalam.
Aku melirik jam tanganku. Tinggal lima menit
lagi menjelang jam lima saat akan diberlakukannya jam malam. Tapi, sepertinya
masih banyak warga Palestina yang belum menyadari percepatan jam malam kali
ini. Karena, memang perubahan ini diambil tiba-tiba saja tanpa alasan yang
jelas oleh pimpinan IDF [2] wilayah Tepi Barat.
Ini bukanlah kali pertama adanya perubahan jam
malam tanpa sosialisasi. Walaupun aku seorang Israel, tapi ini suatu yang
kurang masuk akal dilakukan organisasi sekaliber IDF. Tapi, aku tak punya waktu
untuk berpikir lebih lanjut.
Di ujung jalan, di persimpangan ke arah
perumahan Ramat Shlomo, seorang laki-laki berkafiyeh berjalan dengan arah
menjauhi pemukiman.
“Wah, ini
jatah kita nih!” seru
Tom Shlaim, perwira menengah yang duduk di bagian depan tank tergelak senang.
Lewat satu menit dari jam lima! Ini adalah kartu
mati bagi warga Palestina yang masih berada di luar rumah. Kami berlompatan ke
depan pria berjanggut yang terlihat kaget dengan kedatangan kami.
“Anda melanggar jam malam,” komandan patroli
kami Mayor Ehud Oron menodongkan senapannya hanya berjarak sepuluh senti di
depan kening lelaki itu. “Keluarkan kartu identitas!”
“Geledah!” suara mayor yang pernah ikut
membuldoser orang-orang Palestina di lokasi penampungan pengungsi sipil dalam
Operasi Jenin pada 2002 itu menggelegar.
Serdadu-serdadu berlompatan dari atas tank-tank
seperti serigala lapar melihat rusa yang terkepung, menyeringai siap menerkam.
Mereka berlomba mendekati lelaki separuh baya itu yang dengan tenang melirik
jam tangannya. Sepertinya dia menyadari telah ada perubahan jam malam yang
dipercepat secara sepihak oleh Israel.
Laki-laki itu tersenyum samar seperti paham
dengan jebakan Israel kali ini. Senyumnya ternyata justru membuat kemarahan
serdadu Israel menggelegak. Bertubi-tubi pukulan dan tendangan keroyokan
mendarat di perut dan pelipis laki-laki itu. Laki-laki itu terbungkuk menahan
sakit. Tubuhnya sempoyongan. Darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat lawan makin tak berdaya, gerombolan
pasukan Israel makin beringas menghajar laki-laki itu tanpa ampun. Sungguh
sebuah aksi tanding yang sangat tak berimbang.
“Ayo Daniel!” teriak Mitchell dengan isyarat
tangannya agar aku ambil bagian dalam aksi ini membuatku tergagap.
“Adalah tugas mulia kita, menyediakan ‘tanah
tanpa manusia untuk manusia tanpa tanah [3]’,” teriak Mitchell lagi. Kalimat
itu telah kudengar hampir setiap hari saat aku melewati hari-hariku di Kibbutz
[4]. “Yoshua datang dan memusnahkan penduduk Jericho [5] adalah misi Tuhan!
Tidak boleh ada satu orang pun dari mereka yang tersisa!” jawaban seperti itu
selalu diberikan Rabbi Shahak sambil membuka Perjanjian Lama saat aku bertanya
mengapa Israel harus terus-menerus menghabisi Palestina.
Aku masih terpaku saat tubuh laki-laki Palestina
itu oleng. Aku tercekat ketika sebuah hantaman keras senjata laras panjang
seorang serdadu Israel menghajar tengkuk lelaki itu yang membuatnya tersungkur
di tanah.
Rasa kagetku belum hilang saat Letnan Moshe
Ildad melompat ke atas tank. Berteriak menyuruh pasukan Israel menghindar dari
tubuh lelaki Palestina itu dan bersiap menjalankan tank. Aku menahan napas di
tengah sorak riang pasukan Israel menyemangati Ildad. Tank bergerak seperti
sebuah tarian maut yang gemulai, menikmati setiap putaran rodanya menuju tubuh
yang tergolek tak berdaya di jalanan beraspal dan siap menggilasnya.
Aku menutup mataku tak hendak melihatnya. Namun,
pemandangan yang tak kalah mengerikan hadir menggantikan. Di depan mataku,
siluet tumpukan tubuh laki-laki dan perempuan tumpang tindih. Dan, perempuan
terakhir yang mencoba menggapaiku tersungkur, berteriak keras melihat buldoser
mendekat ke arahnya. Pemandangan berikutnya tak dapat kusaksikan kecuali teriakan
histeris perempuan itu serta suara-suara jerit kesakitan yang menyayat, mungkin
dari tumpukan tubuh manusia itu. Aku tidak dapat menyaksikannya lagi, karena
tubuhku ditarik seseorang dengan keras dan dipalingkannya.
Aku refleks membuka mata mendengar raungan keras
keluar dari mulut laki-laki yang setengah jam lalu masih berdiri gagah di
hadapan kami, saat roda-roda tank mulai menyentuh tubuhnya. Aku menahan napas
melihat cairan putih berloncatan keluar dari kepala laki-laki itu. Tubuh itu
kini tak berbentuk. Serpihan daging dan genangan darah membanjirinya. Aku
menelan ludah pahit. Serdadu-serdadu Israel bersorak dan bertepuk tangan
menyalami Ildad, seolah mayor itu telah berhasil melaksanakan sebuah misi
penting. Setelah itu mereka kembali berlompatan ke atas tank bersiap mengakhiri
patroli hari ini.
***
Aku mengempaskan tubuh di tempat tidur masih
mengenakan seragam wajib militer. Rasa pusing dan mual menyesaki perutku.
Sungguh sebuah hari yang melelahkan pada hari pertamaku menjalani wajib militer
ini.
Aku berusaha menutup mata. Namun, bayangan
kejadian hari ini memenuhi pikiranku. Anak kecil pelempar batu, tubuh laki-laki
Palestina yang hancur, serta sebuah bayangan perempuan yang berulang kali
muncul, entah dari mana asalnya, berusaha menggapaiku di tengah tumpukan
manusia tumpang tindih dalam genangan darah. Bayangan terakhir awalnya masih
samar, namun makin lama terlihat semakin jelas. Aku mengumpulkan segenap
ingatanku untuk memahami bayangan itu. Sebuah tanya bolak-balik menghantuiku.
Siapa perempuan di tengah tumpukan manusia itu? Entah mengapa perlahan-lahan
ada perasaan dekat yang kurasakan saat aku kembali membayangkan wajah perempuan
itu. Lalu, mengapa pula aku ada di tengah tumpukan manusia itu?
Aku bangkit menuju ruang kerja Rabbi Shahak. Hari
ini ada pertemuan penting di Sinagog Khabaar dan Rabbi Shahak akan mengikutinya
mungkin sampai pagi. Tumpukan buku-buku terlihat memenuhi ruangan dan meja.
Seingatku, selama aku diasuh Rabbi Shahak
semenjak usiaku sekitar empat tahunan, baru beberapa kali aku memasuki ruang
kerja Rabbi Shahak ini. Walaupun Rabbi Shahak terlihat sangat sayang padaku,
namun sikapnya sangat tertutup. Banyak hal yang sepertinya ingin
disembunyikannya dariku, termasuk keberadaanku di rumahnya sampai saat ini. Dia
akan diam seribu bahasa kalau aku bertanya tentang masa kecil dan asal-usul
keluargaku. Rabbi Shahak hanya mengatakan bahwa aku adalah “malaikat” yang
dikirim Tuhan kepadanya untuk menjadi “pahlawan” bangsa Israel membebaskan
“Tanah Terjanji”.
Mataku menyapu seluruh ruangan. Sebuah diary lama dengan sampul penuh
debu yang tergeletak di ujung lemari menarik perhatianku. Tak ada yang istimewa
yang tertulis di buku itu. Hanya seputar kegiatan harian Rabbi Shahak mengajar
dan memberikan ceramah di beberapa sinagog dan pertemuan. Aku membolak-balik
buku itu tanpa minat. Beberapa halaman yang ditulis dengan tinta merah walaupun
buram menarik perhatianku.
15
November 1989
Akhirnya
pagi ini dia menikahi wanita Palestina itu dan menjadi Muslim. Dia memilih
tanggal ini katanya untuk hadiah ulang tahun kemerdekaan pertama Palestina bagi
istrinya.
“Sekaligus
hari kemerdekaan bagiku,” ujarnya .
Dia telah
menjadi Yahudi yang mengkhianati dirinya sendiri.
“Paham
Zionisme berlawanan dengan nurani kemanusiaanku,” begitu alasannya.
“Walaupun
aku adalah Israel tulen”, lanjutnya lagi .
“Tidak!
Dia mengkhianati Israel, Tanah terjanji. Tak kan kubiarkan!!!”
Aku menahan napas. Mencari-cari tulisan bertinta
sama.
15
Agustus 1990
Katanya
anaknya sudah lahir. Aku tak tahu kapan. Sebagai teman akrabnya dulu, aku
ditanyai teman-temanku dan juga teman-teman lamanya di sinagog. Tapi, aku malah
tidak tahu informasi itu. Apa yang bisa kulakukan?
Aku mengernyitkan dahi. Teman akrab, siapa teman
akrab Rabbi Shahak itu? Aku melanjutkan membaca beberapa buku yang lain.
Kondisinya hampir sama, berdebu dan buram. Sebuah tulisan bertinta merah
kembali menarik perhatianku.
23 Maret
1994
Aku ikut
pasukan patroli. Mereka menyisir dan “membersihkan” lokasi sekitar Al Quds. Itu
tempat tinggalnya beserta istrinya. Pasukan yang luar biasa. Mereka mampu
“mengosongkan” penduduk wilayah itu walaupun sebagian harus dengan buldoser.
Yang
kucari akhirnya kudapatkan. Wajah bocah itu sangat mirip dengan wajah ayahnya.
Anak itu berhasil kupisahkan dari ibunya. Kudekap dia agar tak melihat ayah
ibunya dibuldoser.
Sekarang
dia anakku. Tidak ada lagi Al Hamid Ibrahimi. Kau sekarang adalah Israel
Daniel! Akan kujadikan kau Yahudi sejati pengganti ayahmu yang pengkhianat.
Israel Daniel! Refleks aku melihat banner nama di dadaku. Israel
Daniel!
Aku terduduk lesu. Beribu tanda tanya memenuhi
kepalaku. Bagaimana mungkin Israel Daniel itu adalah Al Hamid Ibrahimi? Dan,
itu adalah aku!
Bayangan tumpukan manusia itu kembali hadir di
mataku. Sekarang dapat kulihat dengan jelas wajah kelebatan wanita itu.
Wajahnya begitu panik menyadari aku terlepas dari tangannya dan berusaha
merebutku kembali dari tentara Israel yang telah merenggutku dengan paksa dari
sisinya. Dan, ternyata wanita itu adalah ibuku!
Kepalaku terasa pusing. Bagaimana mungkin Rabbi
Shahak yang selama ini aku hormati ternyata memiliki andil yang sangat besar
menghancurkan keluargaku, membuldoser ibu bapakku? Begitu rapinya Rabbi Shahak
menyimpan rahasiaku demi menjadikanku seorang Israrel. Aku bingung dan tidak
mampu memahami perasaanku saat ini. Rasa mual dan benci menyesaki dadaku.
Aku meraba gagang pistol di pinggangku. Aku
mencabut bannernama di
dadaku. Dalam lengang aku melihat bocah delapan tahunan penggenggam batu dengan
tubuh bersimbah darah itu menjelma dalam diriku. (*)
.
.
Bogor, 20
Juni 2010
Penulis
berdomisili di Bogor, Jawa Barat. Ia tergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP)
Bogor. Aktivitas sehari-hari ibu tiga anak ini adalah menjadi guru PAUD.
.
Keterangan:
[1] Pembantaian sangat keji di Desa De’ir Yasin
oleh Israel pada 9 April 1948. Aksi keji ini menewaskan lebih dari 360 orang
dari total penduduk 600 jiwa.
[2] Tentara Nasional Israel.
[3] Semboyan kaum Zionis Israel untuk menjadikan
tanah Palestina kosong sama sekali sehingga dapat disediakan bagi bangsa Israel
yang mereka anggap tidak punya tanah.
[4] Tempat-tempat pemukiman kolektif di Israel
dengan sistem kepemilikan bersama.
[5] Salah satu kisah dalam Kitab Perjanjian Lama
yang disitir secara salah dan disalahgunakan Zionis sebagai pembenaran
tindakannya membantai penduduk Palestina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar