MASJID itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan,
kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal,
jendelanya tak berdaun—hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian
atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan keramik
putih—kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di
toko-toko material.
Masjid
itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah.
Namun,
halaman masjid itu cukup luas. Dan di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon
trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin
saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini
di siang hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu.
Begitu
besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala
arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini
memang dipayungi trembesi. Cantik sekali.
Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari.
Subuh ada lima orang berjemaah, itu pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan,
bisa mencapai dua saf. Isya… hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap
hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.
Bagi
Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia
dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap
Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk
memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak
mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan
raya—sebagaimana dilakukan banyak orang. “Seperti pengemis saja…,” gumamnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu
tinggal sebagai impian saja. Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong.
Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu
minyak.
Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti
taburan bunga para peziarah makam. Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman.
Satu-dua anak memungutnya, mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada
kedelai itu, menjemurnya, menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore
hari. Jelas tak ada orang yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.
Terlalu
luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim.
***
Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang
sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih
duduk bersila di lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara dua orang
itu tengah menghitung uang amal yang masuk hari itu.
“Tiga
puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
“Alhamdulilah.”
“Dengan
yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
“Ya,
sudah… nanti kan cukup,” ujar Haji Brahim tenang.
Sesaat
ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek
tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu
dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
“Alaikum
salam…, Nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang
dengan pandangannya yang tua.
“Ada
apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
“Saya
tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.”
Sesaat
ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan
trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap.
“Silakan
nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek
itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang
tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu
dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di
setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong
plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan
berikutnya….
Ketiga
orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si
nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan
membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun
yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji
Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.
“Jangan…
jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
“Tapi
nanti nenek lelah.”
“Adakah
yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti
bergumam.
Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di
sanubarinya.
Dilihatnya
si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan,
demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.
Dari
bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia
menggumamkan, “Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng
Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji
Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek
seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari
jalan pengampunan.
***
Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di
tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja
berguguran di halaman. Tubuh tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya
terengah-engah. Ketiga orang itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya.
Ketika maghrib tiba, dan orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja
memunguti dedaunan.
“Siapa
dia?” bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan
masjid. Tentu saja tak ada jawaban, selain “entah”.
“Nek,
istirahatlah… ini sudah malam.”
“Kalau
bapak mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.”
“Nek,
mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?”
“Tidak.
Saya tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah
ampunan,” ucapnya sambil menghapus air matanya.
Haji
Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa
lalunya.
***
Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena
merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan
menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lagi
lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam pulang.
Tak
ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh
tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan
yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.
Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian
banyak orang. Mereka berdatangan ke masjid. Niat mereka mungkin ingin
menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka
melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi
semarak. Orang datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau
sekadar memberinya minum. Dan, semuanya selalu berjemaah di masjid.
Dua
hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek
tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke
puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi.
Hari
itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek,
akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.
Ketika
semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi
menyergapnya. Dia menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang
berserak itu lenyap. Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti
disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai
tanah.
Sudut
mata Haji Brahim membasah. “Semoga kau temukan jalanmu, Nek,” gumamnya.
Dan
ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa
yang dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid
bisa sebersih seperti itu.
***
Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku
tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin
sebagai contoh. “Mungkin juga dia memang berdosa besar—sesuai pengakuannya
kepada saya,” ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. “Dan… dia
melakukan semacam istighfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada
di halaman, mungkin begitu… saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka.
Sekarang masjid kami cukup ramai.”
“Pasti
banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
“Iya…
ha-ha-ha… benar.”
“Memangnya
bisa begitu, Ji?”
“Maksudnya,
ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika
Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku
terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu,
melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun. (*)
.
.
Pinang
982
Tidak ada komentar:
Posting Komentar