ANAKKU,
Sandy, berumur delapan tahun, tak kelihatan di antara anak-anak yang baru saja
lewat di depan rumah. Di antara mereka aku bisa melihat Bagas, Sucipto, dan
Adijaya berjalan beriringan. Pukul sebelas ini, anak itu seharusnya pulang
bersama tiga serangkai itu. Tapi tak satu pun dari mereka yang melihat Sandy
keluar sekolah. Bagas mengatakan, tiba-tiba saja dia kehilangan Sandy di
halaman sekolah.
“Kami sempat menunggu
Sucipto membeli gulali, Bu.” Kata Adijaya.
Pagi tadi, Sandy
menghabiskan semua nasi di piringnya. Biasanya dia lari begitu saja dari kursi
dan menyisakan setengah isi piring. Tapi hari ini dia memakan semua sayurnya.
Aku membuatkannya tumis kangkung dan sayur bayam. Sandy menyendokkan kedua
sayuran itu ke piringnya dan makan dengan lahap. Biasanya dia mengeluh soal
sayur-mayur dan tidak pernah menghabiskannya alih-alih tak pernah menyentuhnya.
Aku, sebenarnya, cukup
sering memperingatkan Sandy supaya tidak mengompol lagi. Setiap tiga hari
sekali, dia mengompol.
“Kamu sudah delapan tahun,
Sayang.”
Tapi Sandy memang masih
kecil, sebenarnya. Dia mengaku tidak bisa menahan perasaan ingin kencing ketika
tidur. Seolah-olah semua itu hanya mimpi dan keesokan paginya, celananya basah.
Pagi ini, adalah sebuah
keajaiban anak itu tidak membasahi celananya. Katanya, dia sengaja bangun
tengah malam untuk pipis dan bangun pukul tiga untuk memastikan celananya tidak
basah. Dia juga mengaku menggosok gigi sebelum tidur dan berdoa sebagaimana Pak
Roji’i melafalkan doa tidur untuknya. Berkali-kali Pak Roji’i datang kepadaku
hanya untuk memastikan Sandy sudah hafal doa tidur. Guru ngaji itu merasa perlu
memastikan Sandy menghafal doa tidurnya karena pada hari ujian, doa itu selalu
gagal diucapkannya.
“Sandy sering mengeluh
soal mimpi buruk, Bu Ani.”
Tapi sekarang anak itu
menghilang setelah perilaku tidak biasanya hari ini. Aku memeriksa meja
belajarnya barangkali ada surat undangan yang lupa dia berikan. Tapi mejanya
bersih, baik dari kotoran bekas penghapus ataupun perlatan tulis yang
berserakan. Robekan kertas juga dia buang di keranjang sampah. Beragam pikiran
menumpuk dalam kepalaku hari ini. Hari ini, Sandy menjadi anak yang tertib dan
disiplin.
***
Aku
menelepon ke sekolah Sandy untuk memastikan keterlambatannya karena ada acara
penting di sekolah. Bu Farida, bagian tata usaha, mengatakan sekolah sedang
tidak mengadakan acara apa pun dan semua murid sudah semuanya pulang. Tidak
satu pun murid tinggal di sekolah. Setelah shalat Zuhur aku duduk-duduk di
beranda sambil berharap seseorang datang dan mengabari soal Sandy. Lebih dari
itu, aku berharap Sandy menemukan jalan pulang.
Pukul satu aku sudah
mondar-mandir di halaman sambil sesekali melongok ke jalan, dari ujung ke
ujung, barangkali Sandy ada di bahu jalan. Kepada orang-orang yang lewat aku
bertanya apakah mereka melihat Sandy. Pak Luhur, penjual bakso keliling, lewat
di depan rumah dan berhenti.
“Wah, saya tidak lihat
Sandy di sekolah, Bu. Hari ini dia tidak beli bakso saya.”
Kalau begitu, tentu saja,
dia belum makan siang. Hari ini dia tidak terlalu ngotot meminta uang jajan
lantaran uang yang kuberikan lebih sedikit dari biasanya. Sandy tidak mungkin
tidak membeli bakso Pak Luhur karena, memang, sedikit apa pun uang jajannya, kucukupkan
agar dia bisa membeli bakso Pak Luhur. Akhirnya, kupesankan semangkuk bakso Pak
Luhur agar ketika pulang, dia bisa tetap memakan bakso itu.
Aku tidak tahu apa yang
menyebabkan dia belum pulang hingga siang. Pagi tadi, aku membuatkannya
omelet—seperti yang dimintanya kemarin—dan membuatkannya susu cokelat. Aku
tidak memaksanya untuk memakan sayur—tapi Sandy menyendokkannya sendiri ke
piringnya. Seingatku, aku tidak memarahinya pagi ini—juga kemarin-kemarin
sebelumnya. Lagipula aku tidak pernah marah—apalagi berkata-kata kasar—pada
anak delapan tahun itu. Kalau dia nakal, kupikir itu biasa karena dia baru
delapan tahun dan aku tidak pernah memukulnya. Aku hanya menasihatinya dengan
cerita-cerita Nabi, atau kadang mendongengkannya legenda-legenda rakyat dari
tanah seberang. Sama sekali tidak ada kemarahanku pada anak kecil itu.
Kalau lemari pakaiannya
berantakan aku hanya memperingatinya sekali agar tidak mengulanginya—dan tidak
pernah bersuara keras. Pagi ini anak itu tidak membuat lemari pakaiannya berantakan.
Bahkan dia memakai bajunya sendiri. Dia mandi sendiri dan bangun sendiri.
Tempat tidurnya sudah rapi saat aku masuk untuk memastikan dia sudah bangun.
Hari ini, lantaran memang aku tak pernah memarahinya, kehidupan dimulai dengan
keajaiban bahwa Sandy tidak membuat pagi hari seperti pasar malam.
Lagipula dia tidak banyak
bicara—alih-alih mengomel—pagi ini, selain pengakuan-pengakuan tidak biasa itu.
Dia juga tidak membawa peralatan olahraga apa pun atau mengatakan apa pun
karena ingin bermain sepulang sekolah. Biasanya dia mengadu akan terlambat
kalau ingin singgah ke rumah Bagas, atau temannya yang lain. Tentu saja, dia
tidak pernah mengaku terlambat karena ingin mengerjakan PR di rumah teman.
Tapi semalam, Sandy
mengerjakan semua PR-nya sendirian.
Akhirnya aku mendatangi
rumah Bagas—dua blok dari rumahku—untuk memastikan Sandy berada di sana. Tapi
Bagas sedang tidur siang (dan tentu saja, tidak ada Sandy di sana). Kepada
Amira aku bertanya, tapi dia mengaku melihat Sandy duduk sendirian di taman sekolah
hari ini.
“Sandy pendiam hari ini,
Bu.”
Aku khawatir. Apa yang
membuatnya begitu aneh? Aku mendatangi rumah Pak Roji’i berharap anak itu ada
di sana sedang menceritakan mimpi buruknya. Tapi Pak Roji’i sedang pergi
menghadiri hajatan Pak Sami’un. Aku tak menemukannya di lapangan mesjid, karena
dia sering bermain sepakbola di sana. Kudekati kerumunan anak-anak untuk
memastikan Sandy ada di antara mereka. Tapi, anak-anak itu bahkan tidak
mengenal Sandy. Aku sadar telah berada jauh dari rumah.
Pukul tiga, aku kembali ke
rumah tapi tidak ada Sandy di dalamnya. Suamiku baru akan pulang pukul delapan.
Aku duduk-duduk sebentar di beranda berpikir di mana seharusnya Sandy berada.
Mas Karso, satpam yang sering mengelilingi komplek menjelang sore, mengaku tak
melihat Sandy.
Pukul setengah empat
kuputuskan untuk mendatangi sekolahnya. Lapangan sekolah itu dipenuhi anak-anak
bermain sepakbola—tapi tak satu pun di antara mereka mengenal Sandy. Guru-guru
dan pegawai sekolah telah pulang. Ruang-ruang pegawai telah dikunci. Aku duduk
di bawah pohon beringin di taman sekolah, sementara langit di ufuk Barat mulai
menguning. Burung-burung berterbangan di langit, berkicau, menerbitkan
kegelisahan di hatiku. Kupikir, tak mungkin anak berumur delapan tahun itu
melarikan diri. Aku hanya terlalu takut. Tapi Sandy tak pernah melakukan ini.
Perlahan-lahan bayangan
pohon beringin membesar sehingga aku tak dapat menemukan bayanganku sendiri.
Lembayung di langit membuat bangunan sekolah kelihatan muram padahal lapangan
sekolah masih penuh dengan anak-anak bermain sepakbola. Aku tidak tahu harus
mencari Sandy ke mana lagi sementara hari mulai sore. Suamiku akan pulang dan
mendapati Sandy tak ada di rumah adalah satu hal yang membuatku sangat
khawatir. Sandy dan beragam pikiran yang berkecamuk dalam kepala adalah banyak
hal yang membuatku tak ingin pulang—setidaknya sampai aku menemukan anakku.
Tapi lapangan sekolah
mulai kosong. Anak-anak pulang ke rumahnya sementara aku masih bingung memilih
apakah pulang atau terus mencari. Tapi aku harus berada di
rumah—setidaknya—ketika suamiku pulang (dan berharap ketika Sandy juga pulang).
Anak itu menyiapkan semua
buku pelajarannya sendirian. Menyiapkan air hangat agar tidak kedinginan ketika
mandi, juga sendirian. Sandy tidak ingin dicium seperti anak kecil, tapi pagi
ini dia meminta aku menciumnya. Kemarin dia bertanya apakah aku akan pergi hari
ini. Segala ketidak-biasaan itu membuatku risau. Sepanjang jalan aku beberapa
kali melongok ke belakang berharap Sandy mengikuti. Terpikir olehku untuk kembali
ke sekolah barangkali Sandy ada di sana. Terpikir olehku juga untuk kembali
mendatangi rumah teman-temannya mungkin Sandy singgah di sana. Tapi hari mulai
gelap, dan aku masih tak percaya Sandy masih belum kutemukan.
Aku bahkan tak tahu harus
melakukan apa kalau Sandy masih belum pulang. Tapi pintu pagar terbuka saat aku
sampai di rumah. Dari kegelapan teras Sandy muncul dengan baju kotor dan bau
keringat yang tercium samar-samar. Anak delapan tahun itu menyembunyikan
tangannya di belakang punggungnya dan menatapku dengan mata yang sangat lelah.
Aku ingin mengejarnya tapi dia mulai mendekati dengan langkah yang ragu-ragu,
tapi toh Sandy masih berjalan. Sebenarnya aku ingin memeluknya lantaran
selama seharian ini aku telah kehilangan anak itu. Tapi tepat di depanku, Sandy
berhenti dan memperlihatkan tangannya kepadaku.
“Ibu, aku berjanji tidak
akan mengompol lagi.” Ucap Sandy, seperti doa.
Tapi bukan pernyataan itu
yang membuat aku bergeming dan tak menahan diri untuk meneteskan airmata.
Bahkan aku ragu untuk berkata-kata. Tapi Sandy terus berucap dan menyodorkan
tangannya kepadaku.
“Uang jajanku tak cukup
untuk membeli bunga. Aku mencari bunga liar seharian, tapi aku cuma menemukan
ilalang. Ini untuk Ibu, tapi sudah layu.” Katanya, dengan kepolosan anak
berumur delapan tahun.
Aku baru ingat, ini
tanggal 22 dan Sandy menghilang seharian bukan tanpa alasan. Aku mengambil
ilalangnya dan memeluk anak itu erat sekali—seperti dipertemukan kembali
setelah bertahun-tahun kehilangan. Dia tentulah belum mandi sore ini dan
tubuhnya bau keringat. Tapi bagiku, itu bau pengorbanan. (*)
.
.
Desember, 2011
— selamat Hari Ibu, untuk
Ibu Tercinta;
tak ada
malaikat paling cantik selain Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar