“Tersebab aku mustahil jadi matahari
Atau cahaya purnama muram,
Jadikanlah aku sebatang lilin,
Yang kemerlap dalam gelap”
.
“BERTINDAKLAH seperti
lilin, menerangi gelap di sekitar kita.” Itu kata Mbah Tahal Karyoutomo, ayah
kandung ayahku. Tentu saja aku tidak mendengar langsung kata-kata Mbah Tahal
atau Eyang Tahal atau Eyang Kakung, sebut apa saja. Bagiku sama saja.
Anak-anakku menyebut kakek dan neneknya Mbah Kakung dan Mbah Putri, disingkat
Akung dan Uti. Cucu-cucuku pun juga menyebut kami Akung dan Uti, tidak pernah
menyebutnya dengan lengkap apakah Eyang atau Mbah. Apa bedanya? Kata sebagian
orang, eyang lebih terhormat daripada mbah, tetapi ukuran apa yang dipakai? Aku
menyadari bahwa aku hanyalah keturunan rakyat jelata.
Ayahkulah yang meneruskan
kata-kata kakek kepadaku, pada dini hari selepas makan sahur, sebab aku tidak
ingat wajah Mbah Tahal. Ibuku pernah bercerita bahwa Mbah Tahal pernah
menjengukku di Desa Bululawang, desa yang terletak di seberang sungai dari Desa
Sutojayan tempat Mbah Tahal tinggal. Sedangkan di Bululawang status kami adalah
pengungsi. Sejak Belanda berupaya menguasai kembali Indonesia, kami bergerak
dari satu dusun pengungsian ke dusun lain. Aku benar-benar tidak bisa mengingat
wajah Mbah Tahal. Celakanya, tidak ada foto yang dapat mengingatkan aku
kepadanya. Hanya, aku punya foto Pakde Juri di depan rumahnya, yang dulunya
rumah Mbah Tahal. Pakde adalah anak sulung, sedangkan ayahku anak bungsu di
antara delapan bersaudara. Hanya pakde dan ayahku yang anak lelaki, selebihnya
perempuan.
Mbah Tahal meninggal saat kami
masih tinggal di Bululawang dan berita kematian disampaikan oleh entah salah
seorang kerabat di dalam keadaan gawat perang. Setiap saat pasukan Belanda
melakukan patroli keluar masuk desa. Dan ayah, katanya kelak, harus datang ke
Sutojayan tempat tinggal Mbah Tahal. Celakanya saat sampai di sana, ada patroli
Belanda, dan dengan gemetar, mengenakan sarung serta telanjang dada ayah
menyalakan api tunggu di dapur saat terjadi penggeledahan. Syukurlah, tidak
dicurigai dan ayah selamat dari operasi. Esoknya penguburan dilakukan.
Sedangkan Mbah Putri Tahal
berumur panjang. Aku punya fotonya saat berkunjung ke rumah kami di Malang,
saat sudah merdeka sepuluh tahun. Foto Mbah Putri bersama Mbah Ning, kakak
kandung nenekku dari pihak ibu yang bersuami orang Belanda insinyur pembangunan
jalan raya, namun mereka tidak punya keturunan sampai suaminya yang Belanda itu
pindah ke Makassar dan kemudian entah raib ke mana, mungkin pulang ke negerinya
dan kami tak tahu beritanya. Yang jelas, di Desa Pakisaji, dia meninggalkan
tanah yang sangat luas, di atasnya berdiri dua buah rumah, yang satu ditinggali
nenek sampai saat meninggalnya, sedangkan yang satu lagi yang katanya berarsitektur
Belanda yang indah hancur oleh pengeboman Belanda pada Juli 1947, bersama
dibomnya dua tangki minyak raksasa yang katanya persediaan minyak Belanda
sendiri. Gelegar bom sampai terdengar dari Desa Bululawang tempat kami
mengungsi.
Foto Pakde Juri berpose duduk di kursi, aku sendiri yang
memotretnya memakai kamera milik kakak sepupuku yang sejak kecil ikut ayah dan
dianggap sebagai anak kandung sendiri. Dia adalah anak kakak perempuan ayahku
yang sejak kecil yatim piatu, dan sebagai paman, ayahku yang sudah punya
pekerjaan sebagai school-opziener (penilik sekolah) rupanya punya
kewajiban untuk memelihara kemenakannya itu.
Di dalam foto, Pakde Juri
mengenakan jas dengan kancing penuh dan dihiasi rantai jam yang menjadi mode
saat itu. Di rumahnya, Mbah Tahal mempunyai berpeti-peti piring keramik buatan
China yang berwarna biru. Rupanya, peti-peti atau yang disebut jodang itu
beserta isinya sudah dijual habis oleh entah siapa. Di rumah kami di Malang
tersisa dua buah piring yang dipasang di tembok kamar tamu. Piring itulah yang
diincar oleh Andi, anak kami yang saat menempuh kuliah di ITN Malang tinggal
bersama neneknya di rumah Jalan Lebaksari itu. Keinginannya tersebut pernah
diungkapkan langsung pada waktu ibuku masih hidup, namun sekarang piring tersebut
masih di sana dan ibu sudah meninggal pada usia 87 tahun beberapa tahun lalu.
Aku tidak tahu mengapa desa itu dinamai Sutojayan, adakah
hubungannya dengan Sutawijaya? Aku juga tidak tahu kenapa Mbah Tahal yang orang
desa itu punya banyak jodang yang berisi piring-piring keramik asal China? Aku
juga tidak tahu mengapa Mbah Tahal yang tinggal di desa itu punya rumah yang
disebut antik untuk masa kini? Bagian depannya punya pintu berukir yang kalau
tak salah bernama gebyok yang merupakan pintu rumah bangsawan. Gebyok itulah
yang diburu oleh Dr. Hazim Amir yang dosen IKIP Malang dan menjadikan rumahnya
di kompleks kampus IKIP sebagai semacam museum yang penuh dengan gebyok, roda
pedati, roda dokar, dan segala macam tetek-bengek yang tidak selalu menjadi kegemaran
orang berduit. Anehnya, setiap punya uang, Dr. Hazim Amir berburu gebyok ke
desa-desa dan memboyongnya ke rumah. Mungkin salah satunya diboyong dari rumah
Mbah Tahal almarhum di Sutojayan.
Kakak keponakanku, Mas Darmo,
pernah bercerita bahwa Mbah Tahal adalah sisa-sisa pasukan Pangeran Diponegoro
yang menyingkir ke timur, membuka lahan pertanian di sana. Tak heran, hampir
seluruh tanah di desa itu milik Mbah Tahal yang kemudian dibagi-bagi untuk anak
cucunya sampai habis. Bahkan, tokoh-tokoh penting di desa tersebut adalah
keturunan Mbah Tahal. Sayang sekali karena kepindahanku ke kota, kemudian ke
Bali, aku benar-benar terpisah dari asal-usulku, dan tak ada silsilah yang
dapat kupegang mengenai Mbah Tahal dan keturunannya. Yang tersisa adalah kenangan
mandi di parit kecil di samping rumah atau mandi di sungai besar di desa
sebelah barat. Ayah pernah bercerita bahwa saat dikhitan, anak-anak berendam di
lumpur sawah supaya khitannya cepat sembuh. Jangan dicoba hal itu sekarang
kalau tidak mau lukanya kena infeksi berat lantaran sawah sekarang sudah penuh
insektisida. Padahal, dulu hanya jerami yang dibakar yang dipakai untuk pupuk
dan tak ditambah antihama. Itu pupuk terbaik setahuku.
Tentang prajurit Pangeran
Diponegoro yang menyingkir, aku juga tak tahu persis. Namun pada suatu malam,
ketika aku tinggal sekamar hotel dengan Eka Budianta di Nusa Dua dan aku
bercerita tentang asal-usulku, dia dengan meyakinkan mengatakan bahwa kaum
cendekia dari Jawa yang menyingkir dari pusat kebudayaan membuang semua buku-bukunya
dan hidup sebagai manusia baru yang bebas dari buku. Apakah Mbah Tahal salah
seorang di antara mereka? Aku tak yakin, namun bila melihat pakaiannya seperti
yang dikenakan anak sulungnya, yakni Pakde Jufri, dan rumahnya dan koleksi
jodangnya, mustahil dia sekadar orang kebanyakan. Sebagai orang desa zaman
dulu, walaupun kaya raya, mustahil dia berani membangun rumah gaya bangsawan
dan mempunyai koleksi jodang yang juga hanya dimiliki para bangsawan. Rumah
anak-anaknya pun adalah rumah-rumah biasa, beratap rendah bercampur dengan
kandang kambing, kecuali rumah sepupuku yang menjabat juru tulis desa, yang
punya beranda yang dibatasi dinding kayu bagian bawahnya dan kawat bagian
atasnya.
Apakah Mbah Tahal seorang bangsawan dan karena itu harus
kupangggil Eyang Tahal, aku tak tahu. Ayah pun tak pernah bercerita. Namun,
orang desa macam apa yang mampu menyekolahkan anak bungsunya sampai di sekolah
guru di Probolinggo. Mungkinkah Mbah Tahal benar-benar bangsawan? Nama ayahku,
asilnya, Saim atau Shoim yang adalah nama muslim yang berarti berpuasa. Namun,
entah siapa yang menjadikannya Koesnosoebroto? Nama gaya kota? Mbah Tahal
sendiri bernama lengkap Karyoutomo yang bukan nama orang desa. Tahal sendiri
mungkin juga nama muslim sebagaimana aku punya teman dari Makasar yang bernama
Prof. Dr. Zainuddin Taha. Kami teman sepondokan di Bintaran Tengah 15,
Jogjakarta, saat kami menghadiri Penataran Dosen Bahasa Indonesia dan Inggris
se-Indonesia. Banyak pemondok di rumah Pak Sumadi ini, antara lain, Oka Kusumayudha
yang wartawan dan Fauzy Ridjal, mahasiswa ekonomi UGM yang nyaris MA atau
mahasiswa abadi yang sering dikunjungi Ashadi Siregar, novelis terkenal dengan
novel Cintaku di Kampus Biru.
Ternyata, pengetahuanku mengenai
nama-nama sangat miskin. Namun setahuku, nama-nama keluargaku di Desa Sutojayan
itu nama muslim yang dijawakan seperti nama ayahku.
Lalu, dari mana filsafat lilin yang menerangi kegelapan
berasal? Mbah Tahal mungkin berhubungan dengan lampu teplok, senthir,
obor, tetapi apakah ada yang dia baca mengenai lilin? Aku tidak tahu, tetapi
yang penting aku telah mencoba untuk menjadi lilin yang menerangi kegelapan.
Pekerjaanku sebagai dosen tidak bisa membuatku kaya raya, tetapi aku tidak
menyesal. Baru-baru ini ada reuni lulusan jurusan tempat aku mengajar dari awal
sampai pensiun, tepatnya sampai aku dipensiun oleh peraturan menteri pendidikan
nasional. Saat semua setuju agar jabatan profesorku dapat diperpanjang sampai
aku berusia 70 tahun, termasuk Dirjen Dikti yang setuju, menteri justru menetapkan
aku harus pensiun berdasar permen (bukan permen yang enak) yang dikeluarkan
setelah berkas pengusulanku sudah di meja Dirjen. Menurut permen yang
dikeluarkan bulan Desember, hanya guru besar yang bergelar doktor yang boleh
diperpanjang jabatannya sampai usia 70 tahun. Beberapa teman guru besar yang
bergelar Drs. saja, namun lebih tua beberapa bulan dariku langsung mengantongi
SK perpanjangan pensiun. Aku anggap itu bukan rezeki. Aku memang bukan orang
yang pandai, mungkin malah dianggap pandir karena senang menulis buku fiksi,
puku puisi, dan buku esai, serta menulis di koran. Waktu pengusulan ke jabatan
guru besar pun tiga kali ditolak, dan akhirnya diputuskan agar berkas usulanku
diperiksa oleh pemeriksa di luar kampus. Ternyata, berkas tersebut dikirim ke
Prof. Zuchridin yang juga seorang sastrawan yang tahu aku banyak menulis buku.
Pertanyaannya aneh: “Mana buku-bukumu, Yon?”
“Sudah ditolak, Pak.”
Aku tahu karya sastra dapat
dihargai dengan angka kredit, dan itu ada aturannya yang tidak mau diketahui oleh
para pemeriksa. Bagi mereka, karya sastra sekadar khayalan. Hanya Prof. Nyoman
Tirta yang membelaku karena dia paham masalahnya, padahal bidang studinya
biologi, dan dia membaca sastra, bahkan yang ditulis di dalam bahasa Inggris.
Ajaran Mbah Tahal aku upayakan di dalam memberi terang
kepada mahasiswaku. Ternyata, banyak di antara mereka yang ingat. Bulan lalu,
sewaktu mereka mengadakan reuni di kampus yang tidak bisa kuhadiri karena kalau
hadir harus dibantu didorong di kursi roda, ternyata puluhan bekas mahasiswa
yang datang menengokku sampai empat tahap. Dua di antara mereka malah
menolongku mengobati sakit kakiku dengan cara mereka masing-masing, yang
pertama Ivon dan yang kedua Witama yang sudah menjadi Jero Gede semacam
pendeta. Pakaiannya saja putih-putih.
Lilin itu masih kulihat bersinar
di wajah mereka. Kata temanku yang lain, lilin membakar dirinya untuk menerangi
dunia sampai habis. Habis berarti musnah, sebagaimana aku nanti juga musnah.
Dalam usiaku yang mendekati 70 tahun, mampukah aku pensiun, atau terus akan
menjadi “guru besar emeritus” tanpa ada yang menggaji. Aku teringat Mbah Tahal
melalui foto Pakde Juri yang tewas di dalam sebuah kecelakaan lalu lintas
sebagaimana Wawan, sulung kami yang mengalami nasib yang sama pada usia 17
tahun. (*)
.
.
Singaraja, Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar