Aku teringat saat
ibu merawatnya dengan baik dan dia tampak ceria walau kondisinya tidak terlalu
parah. Setahun lebih kepergian ibu ke Pontianak, Kalimantan Barat, dan tinggal
di rumah Bang Reza. Dia selalu menanyakan kabarku dan ayahku melalui surat
tanpa memaksaku untuk membalas suratnya. Orang tua itu hanya bisa tersenyum
mendengar isi surat dari ibu yang aku bacakan sebab matanya yang katarak tidak
bisa membaca dengan jelas huruf-huruf yang tertulis di dalam surat itu.
“Untuk kali ini
jangan merokok lagi!” Aku melarangnya, tapi terlalu iba mendengar suaranya yang
terus meminta saat aku menjauhkan dua batang rokok yang tersisa di meja. Aku
hanya ingin yang terbaik selama dia menghembuskan napas. Dia meraih sebatang
rokok; aku membantu mengambilkan, lalu menunggunya sampai tertidur. Aku pikir
inilah saatnya bakti terakhirku untuk Ayah sebab aku adalah anak bungsu dari
dua bersaudara yang diberi tanggung jawab untuk merawat ayah sampai ibu kembali
ke desa.
***
Keesokan harinya, banyak orang yang berdatangan ke rumah, di desa
Tanjung Anom, Deli Serdang, Sumatra Utara (daerah tempat tinggalku). Sebagian
yang lain menyiapkan tenda sederhana, sebagian lagi menyiapkan kursi-kursi dan
meletakan bendera hijau di ujung jalan yang bertuliskan huruf Arab: inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun. Aku tak tahu harus berkata apa kepada ibu
atas kepergian suami yang dicintainya itu. Tetes demi tetes, air mata telah
membasahi wajahku yang kaku. Terdengar suara-suara merdu para sahabat yang
membacakan surat Yasiin. Lantunan ayat-ayat suci itu membuatku merasa
tenang dengan hela napas yang panjang.
Usai pemakaman,
aku berpikir bagaimana cara mengabarkannya kepada ibu yang di seberang pulau
itu. Sebelumnya pun aku tidak pernah membalas surat dari ibu karena pada saat
itu pikiranku bercabang dengan urusan kerjaan dan merawat almarhum ayah
sehingga tidak ingin meninggalkannya sendiri terlalu lama di rumah. Aku juga
merasa bersalah karena tidak merawat dan menjaga suaminya dengan baik.
Kepergian ibu bukan karena rencananya, akan tetapi keadaan yang memintanya
sebab istri Bang Reza sedang hamil tua pada saat itu. Istri anak sulungnya itu
adalah seorang yatim-piatu dan tidak memiliki keluarga selain keluarga
suaminya. Oleh karena itu, dia meminta ibu datang untuk membantunya dan
berharap ibu mengajarkan cara merawat bayi pertama mereka usai istrinya
melahirkan.
***
Sebulan telah berlalu, namun tidak ada kiriman surat dari ibu seperti
biasa setiap bulan. Kini, tinggal aku sendiri di rumah kayu itu. Terasa hampa
karena tidak lagi mendengar napas ayah yang bengek. Kehampaan di malam itu
membuat imajiku melayang; ayah menyusup dalam imajiku; dia memanggil dan
menyuruhku membeli rokok; aku tidak membelinya karena aku tidak suka dengan
kepulan asap yang memenuhi ruangan rumah dengan ukuran 6×6 meter itu. Lalu, aku
tersentak dan melihat tempat tidur ayah yang kusut dan tak terurus.
Sampai-sampai aku lupa, bahwa ayah sudah tidak ada lagi.
Pertama kalinya
aku mengajak seorang teman untuk tidur di rumah, tapi masih saja terngiang
suara ayah jelang tidurku. Merasa terganggu dengan sayup-sayup itu, aku
mengajaknya bergadang semalaman. Begitu juga hari-hari berikutnya, aku tetap
memintanya untuk tidur di rumah.
“Akhir-akhir ini
kau aneh, ada masalah?” Dia bertanya sebelum tidur. Aku pura-pura tersenyum
sambil bergurau untuk mengalihkan pertanyaannya. Jika diberitahu hal yang
kualami, khawatir dia tidak mau lagi tidur di rumahku karena alasan takut.
Untuk itu, aku tidak pernah bercerita tentang mimpi-mimpi yang sering hadir
dalam tidurku.
***
Setengah tahun kematian ayah, surat dari ibu tak kunjung tiba. Aku
benar-benar tidak mengetahui kabar ibu dan abang di sana. Aku juga tidak tahu cara
mengabarkan pada mereka bahwa ayah telah lama meninggal. Sementara, aku bingung
harus bertanya pada siapa sebab surat-surat yang dikirimkan oleh ibu sebelumnya
hilang entah ke mana. Padahal, di surat itu terdapat alamat abang sebagai
petunjuk jika aku mengirim surat ke sana.
Tiba-tiba
perasaanku tak enak. Pak kepala desa memanggil dan memberikan sebuah amplop
yang ditujukan untukku. Maklum, alamat yang biasa kami pakai adalah alamat
rumah pak kepala desa karena rumah beliau yang paling dikenal di desa kami.
Kemudian aku masuk dan duduk di tempat tidur almarhum ayah. Sebelum aku membaca
tulisan di amplop, aku yakin surat itu dari ibu. Setelah membacanya, ternyata
benar! Itu adalah surat dari ibu, tetulis: “Dari Ibu Sumarni untuk Rohis
Ghozali”. Gembira tak terhingga ketika membaca tulisan di amplop itu. Aku
merasa doa-doaku terkabul.
Sementara itu,
aku membuka surat pelan-pelan. Kemudian membaca surat itu yang isinya:
Assalamualaikum,
Rohis! Ini ibu dalam keadaan sehat walafiat. Ibu merindukanmu dan ayahmu.
Bagaimana kabarmu dan ayah di Desa? Ibu selalu mengharapkan ayah semakin sehat
dan dapat bekerja kembali. Oh, iya, bagaimana dengan kerjaanmu? Kira-kira sudah
cukup tidak untuk ongkos naik haji ibu dan ayah seperti yang kamu cita-citakan?
Ibu hampir lupa
mengabarkan anak pertama abangmu di sini. Keponakanmu itu sekarang berusia satu
tahun dua bulan. Dia sehat dan lucu sekali, mirip seperti kakeknya di desa.
Hmm… Ibu jadi teringat pada ayahmu, terkadang ibu sedih dan ingin kembali
pulang. Tidak hanya itu, ada kabar duka bahwa si Rasti, istri abangmu,
meninggal dunia saat melahirkan Aji di rumah sakit. Kesedihan abangmu membuat
kesedihan ibu menjadi berlipat ganda pada waktu itu. Ibulah yang merawat Aji
sampai sekarang karena abangmu kerja dari pagi hingga jelang malam.
Sebenarnya,
ibu telah meminta abangmu untuk membuat surat, tapi dia selalu sibuk sehingga
ibu tidak mau membebaninya. Ibu menulis surat ini sendiri. Ibu ingin menyuruh
abangmu untuk mengirimkan surat ini ke desa seperti biasanya, tapi untuk saat
ini lebih baik ibu yang mengirimkannya sendiri supaya ibu mengerti cara
mengirimnya. Kalau ibu sudah tahu, selanjutnya ibu yang akan mengirim surat ke
desa.
Ibu tidak tahu
mau tulis apa lagi, yang jelas ibu sangat ingin bertemu dengan kalian.
Sebenarnya ibu ingin sekali melihat ayahmu, bagaimana dia sekarang? Ya
sudahlah, ibu akan pulang nanti dan bertemu dengan ayahmu. Bilang sama ayahmu
kalau ibu sangat merindukannya. Jaga ayahmu dan baik-baik di sana ya, Nak!
***
Ada sepucuk surat lagi dari kakak.
Rohis adikku,
ini Bang Reza. Maaf jika abang sebelumnya tidak sempat mengirimkan surat ini
kepadamu. Abang terlalu sibuk karena setiap hari harus bekerja, maklumlah
sebagai buruh pabrik. Jika satu hari tidak bekerja, maka gaji abang akan
dipotong dan kebutuhan kami tidak akan terpenuhi.
Sekali lagi,
sebelumnya abang minta maaf atas pemberitahuan ini. Sebenarnya, ibu sudah
meninggal enam bulan yang lalu karena kecelakaan. Semula, abang tidak tahu
kalau ibu pergi untuk mengirim suratnya dan meninggalkan Aji sendiri di rumah.
Abang sangat menyesal dan merasa bersalah dengan kejadian itu. Abang minta maaf
baru mengabarkannya sekarang. Seharusnya abang menyempatkan diri untuk mengirim
surat itu seperti biasanya. Abang tahu kalau ibu sangat rindu pada kalian. Abang
pun teringat, di desa tidak ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Abang
berharap surat ini sampai ke alamat tujuan dengan cepat. Abang sengaja
menyambung isi surat yang dibuat ibu, karena pada saat kecelakaan itu, ibu masih menggenggam surat
ini, lalu surat ini abang simpan untuk dikirim kembali.
Abang sudah
mengumpulkan uang. Abang berharap kamu dan ayah dapat pergi ke Pontianak dan
tinggal di rumah abang. Ada uang sebanyak 600 ribu rupiah yang abang selipkan
di dalam amplop beserta surat ini. Abang harap uang itu bisa membantu untuk
menambah biaya keberangkatan kalian. Kamu catat nomor telepon abang:
081363445522. Sesampai di Pontianak, kamu dan ayah segera hubungi nomor itu.
Abang akan menjemput kalian nanti dan memberitahukan di mana makam ibu. Hanya itu
yang bisa abang lakukan. Untuk yang ke sekian kalinya, abang minta maaf karena
tidak bisa menjaga ibu dengan baik. Satu pesan abang, tolong rawat ayah di
sana, ya!
Wassalam. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar